Karena semua apa dan siapa, dicipta bukan tanpa makna.

Wednesday, November 24, 2010

"Dialog" Dini Hari 2




Masalah lagi dan lagi, selalu saja ada dan tak pernah berhenti, bahkan tak peduli masalah lain masih menghampiri, yang lain ikut menyusuli.

Ku hidupkan laptop seperti malam biasanya, di dalam kamar kos ini, yang sudah dua tahun lebih ku tempati.  Berselancar di dunia maya cukup menghibur saat semangatku kendur dan masalah membentur. Berinternetan menjadi salah satu hiburan saat menjenuhkan. Mungkin ini hiburan, atau salah satu pelarian dari masalah yang menghadang. Ah, lupakan masalah, cukup, tak perlu lagi ku pikirkan, sudah cukup banyak yang berhasil menambahku beban. Seperti jurus ampuh, mampu membuatku lumpuh dan mengeluh. Mengeluh? Payah, entah sudah berapa kali aku mengeluh. Seorang lelaki yang nantinya menjadi pemimpin keluarga, seharusnya teguh, malah begitu rapuh. Kasihan sekali perempuan yang mendapatkannya.

Ku mulai buka beberapa situs andalan, jejaring sosial, forum, serta situs-situs lain yang ku inginkan. Kecepatan koneksi internet yang sering lelet tak ku dapatkan, bagus juga untuk mengunduh lagu dan video kesukaan. Sebenarnya mata sudah mengiba, menuntut haknya, tapi tak ku pedulikan dan ku paksa dia untuk bertahan. Kalau mata ini bisa berkata, pantasnya dia akan marah dan memaki karena haknya tak terpenuhi. Ya, nanti ada saatnya dimana dia berkata, memberi kesaksian atas apa yang ia saksikan. Tapi itu nanti, bukan di dunia ini, kapan pastinya ku tak tau, sekarang, kau turuti saja mauku.

Hai, apa kabar? Lagi ngapain? Cukup lama juga ya kita gak bertegur sapa.” terdengar sebuah suara yang tak asing nadanya.

Ku tengok sekitar, tak ada sosok ku temukan. Yeah, dia lagi.

Alhamdulillah, kabarku cukup baik...” jawabku dengan nada menggantung dan enggan, lalu ku lanjutkan,”setidaknya tadi, sebelum kau sapa.

Hahaha, depannya pakai pujian terhadap Tuhan kok belakangnya umpatan.” Dia tertawa dengan ciri khasnya.”Bukannya seharusnya kamu senang bisa ngobrol lagi denganku? Lama tak bertemu, semestinya membuatmu rindu.”

Aku menganga, muak mendengar kenarsisannya  “Rindu? Sama kamu? Tak salah? Tak semuanya layak dirindukan, kawan. Tak semudah itu. Kalau semua layak dirindukan, apa istimewanya sebuah rindu?

Ya, gak semuanya lah. Tapi aku kan termasuk yang layak dirindukan, aku kan kamu. Masa’ kamu gak rindu ama diri kamu sendiri, atau lebih tepatnya, rindu dengan SEJATINYA  kamu.”, terdengar suaranya cukup ditekan saat mengucapkan kata sejatinya.

Maksudmu?” timpalku.

Sebenarnya tak ku harap penjelasan dari kalimat itu. Sudah cukup jelas artinya, dia anggap aku yang sekarang bukan aku yang sebenarnya, hanya sebuah topeng, kepalsuan.

Ya, terserah kamu bilang sekarang aku bukan sejatinya aku, bukan seperti aku yang dulu, tak sesemangat dulu, atau apalah katamu, memang inilah adanya aku di masa kini, aku tak memintamu untuk suka atau melarangmu untuk membenci.

Huff.” serupa suara hembusan nafas ku dengar, mungkin dia memayahkan atas apa yang baru ku ucapkan. “Kebanyakan kata-kata yang ku dengar darimu berisi umpatan, keluhan, kekecewaan, ketidakberdayaan, sungguh seorang lelaki yang mengenaskan.

Bukan sesuatu yang mengejutkan apa yang baru saja ku dengar, inti katanya sudah ku duga sebelumnya, “Ya, ini lah aku, sudah takdir Tuhan kali aku seperti ini.

Lagi, serupa suara hembusan nafas kepayahannya terdengar, kali ini lebih kuat, lebih berat.

Tuhan menciptakan kemampuan dan kehendak pada kita, juga memberi kita kewenangan untuk bertindak. Memang selalu ada batasan yang tak mampu kita lawan, tapi bukan berarti kita harus berdiam dengan ketidakberdayaan. Selalu ada kesempatan kalau kita mau berjuang.

Selalu saja kata indah terucap saat memberi nasehat. Memangnya gampang mengaplikasikan sebuah ucapan.

Iya, kau benar, tak cukup dengan berdiam. Tapi sebagai manusia kita butuh dukungan karena seringkali rencana tak sesuai dengan nyata. Saat-saat seperti ini, saat aku butuh penyemangat, malah tak ku dapat. Saat kita jatuh, kita butuh penopang untuk bisa berdiri juga seseorang yang mau mengulurkan tangan agar kita tak kewalahan.” aku mengeluh, rasanya cukup banyak masalah dan musuh, tapi, ku bingung untuk mengurainya, menjelaskannya.

Saat kau jatuh, tenaga mu tak semuanya runtuh, masih ada yang tersisa walau tak seberapa. Seharusnya, dengan sisa tenagamu, tanpa uluran tangan pun tubuhmu masih bisa kau tegakkan. Tak harus segera bangkit saat kau rubuh, mungkin butuh waktu untuk memulihkan semangatmu. Saat sudah cukup kuat, saat itulah kau kembali tegak dan melanjutkan jalanmu dengan siap.

Dasar manusia sok bijak. Coba saja saat dia jatuh, apa dia bisa menerapkan kata-katanya. Sayang, aku tak mampu melihat wujudnya, kalu bisa dan tiba saatnya dia terpuruk, pasti semangatnya pun ikut ambruk, dan rangkai kata indahnya pun lapuk. Aku curiga, orang semacam dia cuma pandai berkata bijak, tapi tak piawai dalam bertindak.

Hehehe, tak usah terlalu mempermasalahkan kata-kataku.” ucapnya menghentikan caci dalam diri. Jangan-jangan dia mampu membaca isi hati, ah, mana ku peduli. ”Aku pun tak menjamin tak akan pernah mengeluh, bisa jadi ku tak mampu bangkit saat terjatuh.Tapi tak ada salahnya ku menasehatimu, selagi ku mampu. Juga, dari (si)apapun kau dapat sebuah pesan kebaikan, tak usah terlalu dipusingkan, tak perlu pula berprasangka apakah dia melakukannya atau sebatas kata. Misalpun ternyata dia hanya perangkai kata ulung, kau sudah beruntung, karena kau sudah memperoleh kemanfaatan dari sebuah ucapan, meski kau belum dapatkan teladan.

Kata-katanya barusan membuatku harus mengiyakan. Ya, tak perlu ku umpat karena memang sudah tepat.

Jadi, tak masalah kan kalau aku tegur saat semangatmu kendur?” tanyaku.

Tak masalah, kawan. Bukannya bagus kalau saling mengingatkan. Apalagi jika mengingatkan dalam kebaikan.” jawabnya.

Tapi, tak enak juga kalau aku mengingatkan orang yang lebih baik dariku misalnya.” aku memang merasa sungkan untuk mengingatkan.

Hehehe.” kembali dia tertawa, tapi bukan dengan nada menghina. “Lebih baik darimu? Menurutmu kan? Bukan menurut Tuhan? Apa kita harus menjadi manusia tanpa dosa dan kesalahan agar diperbolehkan mengingatkan dalam kebaikan?

Pertanyaan retoris, tapi tetap ku jawab. “Tak mungkin lah kita tanpa dosa dan salah.

Berarti tak ada alasan untuk tak mengingatkan, bukan?

Ya.” jawabku singkat.

Mau mengingatkan, kan beberapa pekan ini sedang banyak-banyaknya undangan pernikahan, ada yang seumuranmu juga, kamu tak ingin segera berdamping dengan perempuan idaman seperti mereka?

Hah? Mengingatkan? Tentang pernikahan...lagi -seperti sebelumnya-. “Kadang aku heran, kenapa setiap perbincangan selalu mengajukan pertanyaan masalah nikah, nikah, dan nikah. Entah membahas apa, ada saja sesi tanya jawab tentang pernikahan.” tak tau kenapa kata yang keluar dari mulutku sesinis itu.

Bukannya setiap manusia secara naluri pasti ingin dipersatukan dengan pasangan hidupnya -dalam ikatan yang sah-? Justru semakin sering orang menanyakan, akan semakin memotivasi kita untuk menyegarakan. Kamu sudah memiliki penghasilan, dan bukan tak mungkin sebenarnya sudah ada seorang yang menantikan untuk kau pinang.” dia berujar.

Aku diam sesaat, memikirkan kata yang tepat, “Memang seharusnya memotivasi, tapi kalau terlalu sering, bisa-bisa bukan menjadi motivasi, malah sebuah intimidasi.” sukses aku berkata sinis...lagi, ah setan apa yang sedang merasuki. Aku segera berucap kembali, semoga bisa memperbaiki, “Maksudku, tak baik juga terlalu sering menanyakan, karena bisa jadi yang ditanyakan pun sudah memikirkan dan diapun sedang mulai mempersiapkan. Untuk sesekali, mungkin tak masalah kau ingatkan, tapi kalau berkali-kali, bisa tak mengenakkan.

Sesekali? Hmm, ya ya ya.

Tampaknya dia tak mau menambah lagi kata sinis yang terucap dari bibirku. Dia menyetujui walau belum sepenuh hati.

Mau mengingatkan lagi.

Kupingku langsung bersiap-siap begitu mendengar kata mengingatkan lagi darinya. Setelah pernikahan, akan mengingatkan apa lagi dia.

Itu, videonya sudah selesai diunduh tuh."

Mendengar kata-katanya spontan membuatku menengok kembali monitor laptop di depanku yang beberapa saat ku acuhkan -karena asiknya percakapan-. Bagus, aku lupa me-minimize tampilan Internet Download Manager-ku, dan dia sukses membaca nama file yang ku unduh. Untunglah tadi aku sudah menutup Mozilla-ku. Tapi tetap saja katanya barusan membuatku malu dan sungkan. Tak butuh waktu lama laptop pun ku matikan.

Sudah mau tidur, kawan? Kelihatannya kau belum mengantuk. Apa tersinggung gara-gara ku ingatkan tentang video unduhanmu?

Awalnya tak ingin ku gubris tanyanya, tapi ku paksakan diri tuk berkata.

Iya, aku mau istirahat dulu.

Ku hampiri kasur yang hanya berjarak sekitar 1 meter sebelah kanan dari kursi yang tadi ku gunakan. Ku pejamkan mata. Sempat terpikirkan kalau dia akan mengganggu karena ku tinggal saja begitu. Ternyata tidak, dia diam, mungkin sudah meninggalkan.

---

Sudah 15 menit lebih ku bolak-balikkan posisi tidurku, miring ke kiri, telentang, miring ke kanan, dan terus diulang berkali-kali, tapi gagal. Mataku terpejam, tapi aku masih tersadar. Sebenarnya aku memang belum mengantuk dan masih ingin berkutat dengan laptopku untuk berselancar sembari menikmati hasil video unduhan, tapi dia keburu menegurku, melihat video itu, benar-benar membuatku malu.

Hahahaha,” tawanya tiba-tiba terdengar lagi.

Kamu sebenarnya belum ingin tidur, kan? Kamu cuma ingin “lari” dari pembicaraan untuk menutup rasa malu dan sungkan yang kau rasakan. Tak usah malu, aku sudah tau semua tentangmu, baik dan burukmu. Apa perlu aku sebutkan hal-hal yang lebih parah dari itu? Bisa-bisa kau terkaget saat ku kembali menyebutnya, karena kejelekanmu mudah kau lupakan. Mungkin kau anggap memorimu terlalu sayang jika kau gunakan untuk mengingat-ingat keburukan.

Mataku terbuka, tapi mulut tak berucap, ingin aku mengumpat, tapi ku pilih menunjukkan muka muak.

Ya sudah, kalau kau kurang berkenan, aku akan diam. Tapi kalau boleh ku katakan, kalau memang ingin tidur, tidurlah untuk mengumpulkan energi untuk esok hari, kalau masih ingin terjaga, bangun dan beraktifitaslah untuk menghasilkan sesuatu yang berarti. Kalau hanya membolak-balikkan badan, tidur tidak aktifitas pun tidak, bukannya itu lebih merugikan? Membiarkan waktu tersia-sia tak dimanfaatkan?

Tak terlalu ku dengar lagi kata-katanya. Ku kira percakapan kali ini sudah cukup tadi diakhiri, ternyata dia masih berkata kesana-kemari.

Sebenarnya aku ingin begitu juga, ingin tidur segera. Tapi kalau sedang terlalu banyak pikiran atau ada orang yang MENYEBALKAN, membuatku susah tertidur juga.” sengaja ku tekankan kata-kata menyebalkan agar dia sadar.

Samar suara tawanya terdengar, dalam volume yang tak begitu besar,“Iya, aku memang menyebalkan. Orang yang jujur memang seringkali menyebalkan. Kejujuran sering berteman dengan ketidakenakkan”.

Kamu jujur?” tanyaku dengan nada tak enak.

Setidaknya aku lebih jujur dari kamu, hahaha.” tawanya kembali meledak.

Ya ya ya, terserah kamu. Baik, aku akui aku memang tidak sejujur kamu. Aku juga minta maaf kalau ada sikapku yang kurang berkenan, tapi ku mohon sekarang kita akhiri percakapan kita ini. Memang mungkin aku tak langsung tertidur, tapi biarkan aku berjelajah ruang sunyi, berintrospeksi, sebelum kantuk menghampiri.

Dia sepertinya tau, menambah waktu obrolan denganku hanya akan menambah kebencian yang ku rasakan, “Baiklah, kapan-kapan kita akan bercakap-cakap lagi di saat senggang. Selamat menyelami sunyi, kawan.”salam penutupnya.

Ya, sama-sama.....kawan.”balasku.

Aku kembali memejamkan mata. Tapi segera ku buka lagi, ada yang tiba-tiba menyeruak di pikiran.

Hei, jangan pergi dulu, aku ingin melihat wujudmu, aku sungguh penasaran.” Kataku.

Suasana hening, tak terdengar ada tanggapan.

Ah, mungkin dia sudah pergi.”, keluhku.

Tapi keluhanku segera berlalu, setelah ku dengar lagi tawa menyebalkan itu.

Hahaha, kenapa kau penasaran denganku? Jika kau ingin melihatku, tinggal kau lihat saja cermin itu, kita sama, tapi tentu ada beda, aku terlihat lebih muda dan ceria, karena banyak hal yang tak ku jadikan beban sepeti yang kau lakukan, hahahaha.

Yeah, terserah katamu. Silakan kau mengejekku, yang penting, turuti permintaanku tunjukkan wujudmu.

Jangan-jangan kau hanya bisa menirukan suaraku tapi beda wujudmu. Mungkin saja sebenarnya wajahmu pucat pasi dengan banyak tetesan darah menghiasi. Atau wujudmu besar seperti genderuwo atau buta ijo. Ayolah tunjukkan. Apa aku harus mencabut bulu mataku? Atau menaruh potongan rambut dan kukuku -yang ku bungkus dalam potongan kain kafan- di salah satu sudut tempat tinggalku? Atau aku harus mengelilingi rumah sebanyak 7 kali di tengah malam ini?

Hahahaha”, tawanya kembali meledak. “Konyol kamu, tak usah bertindak bodoh hanya untuk melihatku. Baiklah, akan aku tunjukkan diriku. Sebentar, kawan."

Suasana kembali hening, begitu pun di luar, tak terdengar kendaraan berlalu lalang, hanya sesekali terdengar kucing mengeong kesepian. Jantungku serasa mempercepat detakan. Penasaranku pun memuncak benar-benar. Mungkin seperti seorang yang menunggu pengumuman sebuah undian, atau seorang yang menanti jawaban perempuan yang dilamar.

Masih hening, bahkan lebih hening, kucing yang tadinya sempat beberapa kali mengeongpun kini diam, mungkin bosan karena tak juga mendapat seorang kawan. Detak jantungku masih tak karuan. Aku tengok ke belakang, barangkali dia sudah muncul mengejutkan seperti dalam sebuah film horor kacangan.

Hai, kawan."

Sapanya saat dia sudah terlihat mata. Dia muncul, tidak di belakangku tapi di hadapanku, duduk di kursi yang sebelumnya ku duduki sambil ku pelototi. Detak jantungku yang tadi berdetak tak karuan, kini serasa sesaat dihentikan. Ku lihat sesosok yang sangat mirip denganku, dengan senyum andalanku. Postur tubuhnya, warna kulitnya, bentuk muka, bibir dan hidungnya benar-benar serupa, tapi ku lihat ada sedikit beda.

Aku coba menghirup oksigen dalam-dalam, beberapa saat kemudian ku hembuskan perlahan. Detak jantungku sudah tak menggila dan kini aku siap berkata.

Heh, jangan becanda.”, ujarku, lalu ku lanjutkan.

Cepat copot wig dan kacamatamu.

Kamar 211, Senin, 22-11-2010 kala dini hari.
gambar diambil dari sini

Thursday, November 4, 2010

Tahu (Pong) Gimbal

Beberapa hari yang lalu gue kepikiran dengan tahu gimbal, Teringat waktu masih di Semarang, biasanya selesai lari pagi waktu hari Minggu di Simpang Lima, terus makan tahu gimbal. Campuran tahu, telor, gimbal (udang dikasih tepung), juga kol dengan bumbu sambal kacang bener-bener menggoda selera.

Gue keinget lagi tahu gimbal gara-gara temen gue mau dinas luar ke Semarang. Denger kata Semarang, yang gue kangenin bukan wingko atau lumpianya, tapi tahu gimbal.

Yeyen : muss, tau tempat yang jual tahu gimbal di Jakarta gak?

Temanku yang sedang hamil 3 bulan lebih menyapaku lewat gtalk. Lagi pengen tahu gimbal tau-tau ada teman yang menanyakan tentang tahu gimbal. Benar-benar kebetulan. "Bisa dijadikan partner buat nyari tempat makan tahu gimbal di Jakarta ni." pikirku.

Sayangnya, gue belum tau tempat di Jakarta yang jual tahu gimbal. Gue coba searching di google, dapat alamat di Jalan Pesanggrahan, Jakarta Barat, cukup jauh juga. Gue lalu pasang status di facebook kalau gue pengen tahu gimbal. Agak alay kelihatannya, tapi membuahkan hasil, karena dari komen-komen yang masuk, ada temanku yang ngasih tau kalau di seberang Carrefour dekat shelter TransJakarta di Harmoni ada warung kaki lima Tahu Pong Semarang (TPS). Semangat bertambah, segera gue kabarin yeyen kalau ada tempat yang jual tahu gimbal di dekat kantor.

Setelah Maghrib, gue ama Yeyen meluncur ke TPS setelah sebelumnya mampir bentar ke kosnya Yeyen. Agak lebih deg-degan juga ngeboncengin ibu hamil, tapi gak apalah, sekalian buat belajar.

Gak terlalu sulit buat nemuin tempatnya. Walau warung kaki lima, tapi cukup ramai juga. Kami langsung memilih menu Tahu Pong Gimbal yang komplit dan minum jeruk hangat.

Tak begitu lama, pesanan segera diantar. Dua buah piring nasi putih (kami memang memesan dengan nasi putih) dan dua piring berisi beberapa potong tahu goreng, telor bulat goreng, dan gimbal, lalu disusul dengan dua buah piring kecil berisi sambal kecap. Kami berdua saling nengok -setelah menerima makanan yang kami pesan- dengan muka agak bingung.
"Kok beda ya mus ama tahu gimbal di Semarang?" ungkap Yeyen.
"Iyaya, kok beda."
Kami terdiam sesaat. Gue tengok baliho yang ada di belakang kami "Tahu Pong Semarang"
"O, mungkin tahu pong gimbal ama tahu gimbal beda kali ya?", tebakku.
"He em, mungkin gitu.", balas Yeyen.

Kami cukup menikmati tahu pong gimbal yang sudah kami pesan. Selesai makan tahu pong gimbal, kami memesan lumpia, mencicipinya barangkali rasanya agak beda dengan yang di Semarang.

Jam setengah 9an gue sampai di kosan. Cukup kenyang juga makan tahu pong gimbal (plus nasi) dan lumpia.

Gue masih penasaran dengan tahu pong gimbal yang tadi gue makan. Gue search di google dengan keywords tahu gimbal, setelah itu menggunakan keywords tahu pong gimbal. Ternyata hasil gambar yang ditampilkan beda.

tahu gimbal -yang kami pengenin- (potongan tahu, telor ceplok, kol, gimbal dengan sambal kacang ditambah kerupuk [agak mirip ketoprak])

tahu pong gimbal -yang tadi kami makan- (tahu dan telor goreng, juga gimbal yang disajikan dengan sambal kecap)

Agak kecewa juga belum jadi makan tahu gimbal yang gue pengein. Tapi tak apalah, jadi nambah wawasan juga kalau tahu gimbal dan tahu pong gimbal itu gak sama.

Tuesday, October 19, 2010

Dinamika Hidup


Beberapa hari yang lalu aku cukup dikagetkan dengan kabar yang disampaikan emak lewat telepon. Seperti sudah menjadi kebiasaan, meski tidak dengan frekuensi teratur tapi emak cukup rajin meneleponku. Itu dilakukan jika aku sudah cukup lama (lama dalam hitungan emak) tidak menghubungi beliau. Telepon dengan diawali salam lalu tanya kabar, tanya apa yang sedang dilakukan, baru dimulai percakapan, tentang kabar terkini sekitar, yang terjadi pada emak, simbah, tetangga, dan lainnya.

Kali ini, emak memulai memberitakan kabar tentang tetangga dengan cukup mengejutkan.
"Ando (bukan nama sebenarnya), temenmu sekarang jadi kaya' orang stres."
Kalimat pembuka yang berhasil membuatku terkejut sekaligus penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
"Dua hari yang lalu dia mukulin ibunya, dia juga sering niruin gaya kelelawar sambil lari-lari."
Emak menjelaskan bahwa dia seperti itu setelah menemani adiknya yang jaga di salah satu SD di kampungku, katanya waktu dia sedang di dekat salah satu kelas, dia dihampiri seekor kelelawar raksasa, lalu kelelawar itu menyapanya, suara kelelawar itu suara wanita menurut cerita yang ku dapat dari emak. Setelah percakapan singkat, esok paginya ketika dia pulang ke rumah, saat ke kamar mandi, tiba-tiba dia keluar dan mengamuk ibunya seperti kesurupan. Kabar tersebut segera menyebar ke tetangga, mereka panik, iba, takut, bercampur aduk. Ada yang mengusulkan memanggil orang pintar, minta tolong guru agama, dan lainnya. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa temanku itu kesurupan jin di SD. Tapi ada juga yang beranggapan lebih realistis. Ando bukan kesurupan, dia hanya depresi. Setelah lulus SMA beberapa tahun lalu diteruskan dengan kerja serabutan kesana-kemari, dan beberapa waktu lalu akhirnya orang tuanya mengikutkan dia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Wonosobo yang bekerjasama dengan Pemda. Entah masalah apa saja yang membebani pikirannya, tapi menurut salah satu teman dekatnya, pastinya dia punya cukup banyak msalah yang bisa membuatnya depresi seperti itu. Entahlah mana yang benar.

Belum selesai keterpengarahanku akan kisah tentang temanku, emak melanjutkan kabar yang lain. Kali ini tentang tetanggaku yang memelihara burung puyuh. Dia memelihara 1.000 ekor lebih di rumah simbahnya yang masih berada di sekitar perumahan warga. Beberapa bulan memulai beternak, hasil sudah mulai terlihat. Setiap hari puyuh-puyuh itu menghasilkan telur yang cukup menyenangkan jumlahnya. Wabah penyakit yang sempat menjangkit ke peternakan puyuh tetangga satu desanya -hingga menyebabkan kematian separo lebih puyuhnya- pun tak menghampiri puyuh ternaknya. Mungkin itu rahasia Kemahaadil dan pengasihnya Tuhan. Dia memang sedang membiayai kuliah anaknya di Jogja dengan biaya yang tidak sedikit. Jika hanya mengandalkan gaji suaminya yang seorang guru terlalu memberatkan. Untunglah ada puyuh-puyuh itu. Beberapa kilogram telur puyuh yang mampu dijual bisa membantu meringankan beban biaya kuliah anaknya.

Tapi hidup memang tak selalu seperti yang kita inginkan. Saat sedang mulai menuai hasil ternak puyuhnya, ada saja tetangga di sekitar yang tidak berkenan dengan keberadaan ternak puyuh di dekat rumahnya. Mereka merasa terganggu dengan bau kotoran puyuh yang menyebar kemana-mana. Padahal si empunya rutin membersihkan tiap hari, dan sebelum memulai membuat kandang puyuh disana, dia sudah meminta ijin pada tetangga sekitar. Apa karena mungkin sekarang si empu puyuh sudah mendapat cukup penghasilan dari telur puyuh sehingga membuat si tetangga menjadi tak rela dia diganggu dengan aroma kotoran puyuh yang katanya telah membuatnya tak nyaman untuk tinggal. Si tetangga akhirnya melapor kepada Kepala Desa, minta agar si empu burung puyuh memindahkan kandang puyuhnya. Kepala Desa tidak menyetujui pengaduannya karena ternak tersebut sudah mendapat persetujuan warga sekitar dan dari hasil survei, tak terlalu mengganggu lingkungan.

Gerah atau mungkin karena sudah merasa tidak ada yang bisa diandalkan untuk mengabulkan aduannya, dia mulai bertindak anarkis. Kandang burung puyuh yang ada di dekat rumahnya ia lempari dengan batu-batu kecil. Begitu tau peristiwa itu, si empu puyuh tak kuasa menangis, maklum dia tetaplah seorang wanita, dia teman baik emak dan bapakku, maka ke emaklah dia mengadu dan tersedu.

Hari itu telepon emak dipenuhi dengan kabar-kabar yang kurang mengenakkan. Membuatku kepikiran, tentang temanku, tentang tetanggaku.

Hari berganti, belum sampai seminggu dari telepon emak yang penuh berita kelabu. Emak menelepon lagi, hari ini. Padahal belum genap seminggu, tapi emak sudah menghubungiku, mungkin rindu.
"Iya mak. Aku telepon balik aja ya mak." kataku dilanjutkan memutuskan telepon setelah emak menyetujui. Kadang aku memang seperti itu. Emak yang memulai menghubungi, aku angkat sebentar, ku kasih tau emak agar aku yang menelepon balik, aku lakukan itu barangkali saja pulsa emak sedang mepet. Menganggap rendah emak? Menurutku tidak, terkadang emak kurang enak hati kalau bilangtidak punya pulsa atau butuh uang, yach namanya orang tua.

Seperti kebiasaan, dibuka salam, tanya kabar, apa yang sedang dilakukan, baru dimulai percakapan.
"Rif, Alhamdulillah Ando udah baikan. Dia akhirnya di-rukyah. Kondisi semakin membaik. Tadi dia sudah diajak ke kebun sama bapak dan liknya."
Walau aku tidak melihat langsung peristiwa yang terjadi pada temanku dari (kata orang) kesurupan hingga baikan, tapi mendengar kabarnya saja aku sudah turut bahagia.
"O iya, Mbak Narti (bukan nama asli juga) sekarang sudah aman puyuhnya. Masnya minta tolong ke polisi buat memberitahu tetangganya agar tidak bertindak anarkis sendiri. Cuma dikasih tahu saja, tidak sampai tindakan keras, tapi mungkin karena polisi yang memberi tahu, si tetangga jadi mau. Pembatas rumah dengan tetangganya tersebut pun sekarang dibangun dengan batako yang cukup tinggi agar bau kotoran tidak ke rumah tetangga, tiap pagi kotoran puyuh dibuang ke kali yang jauh dari rumah warga."

Baru beberapa hari lalu emak menjejaliku dengan kabar-kabar kurang mengenakkan. Tapi tak butuh waktu lama, keadaan kembali seperti semula, membahagia. Ah, benar kiranya, hidup tak selamanya manis, tapi tak berarti harus membuatmu menangis.

gambar diambil dari sini

Sunday, October 17, 2010

Laguku


Lewat tulisan ini gue mau menyampaikan pengakuan, bahwa dulu gue pernah beberapa kali bikin lagu. Tapi bukan buat tujuan komersil (emang ada yang mau?), cuma iseng-iseng aja. Dengan kemampuan musikalitas yang minim, dengan suara yang fals -tapi sok punya citarasa musik yang tinggi- gue nulis sebisanya.

Sekarang -atau beberapa waktu ini- gue emang udah gak hobi bikin lagu, tapi dulu lumayan rajin juga, kalo iseng lagi nyante, terus corat-coret di kertas, dengan nada seadanya. Lumayan lucu juga kalo inget jaman-jaman itu. Kadang ada beberapa lagu yang cuma sekilas keluar nadanya, ngutak-atik liriknya, tapi gak dicatet, dan tak perlu waktu lama udah menghilang dari ingatan.

Ada beberapa yang masih keinget, tapi tentu gak gue rekam, karena kesadaran diri bahwa suara gue kurang enak didengar :D Tahun lalu gue pernah iseng ngirimin lagu ke LCLM (Lomba Cipta Lagu dan Lirik Muslim) 2009 dan hasilnya...... jelas gak masuk sebagai juara, gubrak. Sedih? Tentu tidak, karena dari awal emang udah memperhitungkan kualitas lagu yang gue kirim seperti apa. Dan saat gue denger lagu-lagu yang jadi juara, emang keren-keren. Waktu ngirim lagu itu gue cuma pengen mencatat dalam sejarah hidup gue bahwa walau sekali, setidaknya gue udah pernah ngirim lagu ke sebuah lomba. Ya, sebatas itu niatannya. Jadi, saat pengumuman, meski deg-degan, siap nerima kenyataan.

Seinget gue, awal bikin lagu itu dulu waktu di SCTV lagi ada acara kek Idola Cilik (namanya apa ya yang tayang sore?), entah gue masih SD atau SMP. Tapi lagu pertama yang gue bikin bukan masalah cinta-cintaan. Judulnya kalau gak salah "Buat Sobat Karibku". Lucu juga pas keinget judul lagunya, ah jaman dulu.

Di bawah ini gue tulisin liriknya, tapi tanpa audio (karena emang gak direkam di hape, dsb). Moga aja masih inget kata-katanya. Dan kalau kata-kata yang gak mutu, harap maklum, masih kecil waktu bikinnya.

Buat Sobat Karibku

Lelah tlah kumenunggu, dirimu tak jua datang padaku.
Lelah tlah ku mencari, dirimu tak jua datang kesini.
Dengan sabar hati ku nanti, berharap dirimu kembali.
siang malam aku berdoa, tapi dirimu tak datang juga.

Reff :
Buat sobat karibku, ku nyanyikan lagu ini untukmu.
Buat sobat karibku, ku lantunkan lagu ini untukmu.
Buat sobat karibku, ku dendangkan lagu ini untukmu.
Buat sobat karibku, lagu ini, syair ini, tertuju satu untukmu.

Hahaha, gak mutu kata-katanya. Tapi gue pribadi menghargai usaha waktu itu buat bikin lagu. Kalau diinget-inget, emang selalu ada hal-hal yang bisa membuat tersenyum saat mengenang masa lalu. Dulu saat kita ngelakuinnya, keliatannya itu sesuatu yang keren, tapi berapa tahun kemudian, saat kita mengingatnya lagi, merasa itu adalah sesuatu yang lucu, norak, gak mutu. Mungkin itu sebuah proses. Menghargai sebuah proses. Yap, menjadi diri kita yang sekarang juga tak lepas dari masa lalu yang pernah dijalankan. Dan apa yang akan terjadi di depan, tak lepas dari usaha yang kita lakukan sekarang.

Ah, baiknya gue akhiri sekian. Jadi kepikiran buat ngrekam tu lagu, terus gue tunjukin ke teman-teman, "Woi, dulu waktu masih awal belasan tahun gue udah bikin lagu lho.", ngekk.

gambar diambil dari sini

Mari Memulai


Tadi sebelum Isya' tiba-tiba kepikiran buat nulis di blog. Jarang juga gue nulis di blog, paling sebulan sekali, dan itu juga sama ama yang ada di note fb gue. Dulu awal gue bikin blog ini, pengennya bikin tulisan yang agak serius (menurut ukuran gue), biar keliatan lebih dewasa, halah. Tapi, setelah berapa bulan jalan, gue yang emang cukup males, kurang rajin nulis, karena buat nulis yang "serius" butuh mikir lebih, baik dari isinya maupun pemilihan kata-katanya. Memang kadang menyenangkan kalo sedang bagus mood dan waktunya, tapi kalo gak, buat mulai nulis kata pembukanya aja gak ketulis-tulis.

Sebenarnya ada beberapa ide yang muncul di pikiran, pengen segera ditulis, cuma waktu mau nulis, baru ngetik beberapa kata, males udah menyerang, lalu asik ditinggal buka facebook, kaskus, blog walking, chat, dsb, ampe kelupaan buat nglanjutin ato udah males buat nglanjutin :nohope. Padahal untuk nulis perlu pembiasaan, semakin sering nulis semakin mudah buat nyalurin ide-ide.

Dari itulah gue berencana buat mulai rajin nulis di blog gue, dengan perubahan ide awal. Mulai sekarang rencananya blog gue ini mo diisi dengan macem-macem tulisan yang pengen gue sampein, entah yang nyante, gak penting, serius, resensi buku, film, lagu, dsb, atau juga ngupload video, terserah pas lagi pengennya, tujuannya biar gue lebih rajin nulis, biar lebih terbiasa. Tadi aja waktu mau mulai nulis ini, sempet ketunda-tunda, tapi akhirnya gue paksa buat nulis, entah isinya ngalor-ngidul, yang penting mulai nulis lagi.

Yang berubah dari penulisan di blog gue ini, juga pemakaian kata ganti orang pertama. Awalnya gue udah nentuin pemakaian kata ganti orang pertama buat tulisan-tulisan gue disini dengan kata "aku" (kecuali untuk kondisi tertentu yang membuat gue mengganti kata aku), tapi sekarang gue mau lebih fleksibel aja, nyesuaiin dengan kebutuhan. Kadang aku, saya, gue, ane, nyong, dll :D

Semoga bisa istiqomah buat rajin nulis, gak cuma semangat di awal, tapi kelanjutannya mlempem. Gak harus tiap hari juga gue nulis, tapi sebisa mungkin kalo ada waktu ya nulis. Kalo lagi rajin dan pengen nulis lebih dari 1 tulisan sehari, malah bagus. Cuma terkadang buat nulis masih kebawa mood, kadang ada keinginan yang cukup kuat buat nulis, tapi lebih sering males-malesan, ckckck.

Ya udah, tulisan ini gue akhiri cukup sekian.

Mari memulai :)


gambar diambil dari sini

Wednesday, September 22, 2010

Perjalanan







1
Beberapa waktu lalu sebagian (besar) dari kita mudik. Memang tidak semuanya, karena sebagian (yang lain) punya alasan untuk tidak melakukan. Karena memang tinggal di ibukota, karena alasan mahalnya biaya, karena alasan masih bekerja, dan lain sebagainya. Selalu ada alasan untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu. Mereka yang mudik pun begitu juga, punya alasan. Dan aku pribadi merasa beruntung karena aku menjadi bagian dari sebagian (besar) dari kita yang punya alasan untuk melakukan.

2
Ada yang memilih kereta untuk mengantarnya ke kampung halaman, ada pula yang memilih pesawat terbang, yang lain lagi memilih bis malam, mereka yang punya mobil pribadi pun memanfaatkannya untuk pulang. Dan aku memilih untuk naik sepeda motor, sendirian.

3
Kamu mengkhawatirkan, dia tak setuju, mereka melarang, dengan alasan satu, keselamatan. Aku senang kalian seperti itu, walau tak mengijinkan, memberi jawaban yang tak ku inginkan, tapi itu suatu tanggapan, suatu perhatian. Bukan tak ku pedulikan, bukan tak ku indahkan, karena aku sudah memilih, sudah memutuskan.

4
Sekali lagi kau mengulang, "Urungkan niatmu, mudiklah naik bis, tak usah nekad, cari selamat." Sebelumnya aku yakin, tapi saat kau ulangi lagi, dan mereka pun mengamini, aku mulai ragu, satu dua orang melarang, belum terperhatikan, tapi saat semakin banyak orang berujar dengan kata beda namun makna serupa, lalu diulangi beberapa, akupun menjadi goyah, keyakinanku mulai pecah.

5
"Apa aku batalkan rencanaku? Masih banyak cara yang lebih mudah dan nyaman untuk mudik, tak perlu mencari yang menyulitkan." terbesit itu dalam pikiran, mengurungkan. Tapi tidak, aku telah memutuskan. Di sisi lain aku masih meragukan, padahal aku sudah punya persiapan. Ah, aku perlu waktu untuk menenangkan pikiran.

6
Aku tak perlu berganti rencana, aku harus meyakinkan diriku”, kucoba mantapkan. Butuh semacam dukungan dan penenang agar aku lebih teryakinkan. Kutelepon bapak dan emak di rumah, mengabarkan bahwa aku jadi mudik naik sepeda motor -walau sebenarnya aku masih menyangsikan untuk melakukan-. Seperti biasanya, kata-kata mereka tak terlalu beragam, dengan ucapan yang sering aku dengar dan doa dengan rima tak beraturan. Tapi walau tak seindah sebuah lagu, kata dan doa orang tua yang tulus tetap membangkitkan semangatku -juga keyakinanku-.

7
"Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Alloh bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Alloh orang-orang yang beriman harus bertawakkal”, ayat 51 dari surat Taubah. Tak sengaja aku membuka artinya saat aku tilawah sekitar satu jam sebelum keberangkatan. Entah (si)apa yang mendorongku untuk penasaran dengan arti ayat tersebut -bukan yang lain-, kubuka terjemahan artinya dan menakjubkan, ku dapatkan arti firman Tuhan yang begitu menenangkan.

8
Sepeda motor telah ku hidupkan, gigi motor sudah ku masukkan, tak ada alasan lagi untuk membatalkan. Aku menargetkan waktu 14 jam perjalanan dari kos sampai rumah, termasuk untuk rehat, sholat, dan mengisi bensin tentunya. Terlalu lama juga, tapi itu untuk berjaga-jaga, barangkali keadaan jalan dan lingkungan tak mendukung sepeda motorku melaju dengan lancar dan kencang.

9
Perjalanan ini dapat ku nikmati, jalan cukup lengang karena belum terlalu dekat dengan hari Lebaran. Di pinggir jalan terlihat perumahan dengan berbagai aktifitas manusia di sekitarnya, penjual, tukang bangunan, guru, ibu tumah tangga, anak sekolah, pengangguran, dan sebagainya. Di tempat yang lain terlihat persawahan dan pepohonan yang mendamaikan. Gerimis sesaat menyapa, sempat membuatku panik juga, tapi dia hadir untuk menyejukkan, bukan menyusahkan.

10
Perjalanan panjang tak selayaknya dibiarkan berjalan terus-terusan, ada saat kita butuh rehat, memberi masa, agar kita lebih kuat dan bersemangat. Aku pun melakukan itu, sekalian setelah aku sholat. Merilekskan otot yang pegal, mengistirahatkan indera agar lebih handal.

11
Banyak orang yang aku lihat, bahkan terlalu banyak hanya dalam jangka waktu yang relatif singkat. Tentu tak semua aku ingat, tapi sebagian masih tinggal dalam pikiran, mungkin terkenang.

12
Waktu mudik ini begitu bersahabat, dia seolah berjalan lebih lambat, membuatku merasa perjalananku lebih cepat. Waktu yang ku targetkan di awal kubuat lebih singkat. Sebelum Maghrib aku harus sudah ada di rumah, atau kurang dari 12 jam perjalanan. Aku ingin memulai buka dengan orang tua. Semangatku mengalir deras, dan aku bergegas.

13
Sial. Rasanya ingin aku tarik lagi kata-kataku. Tiba-tiba saja Tuhan seperti tak mengijinkan aku mengubah target waktuku, atau mungkin dia sedang menggodaku? Perjalanan yang sebelumnya terasa begitu tanpa halangan, kini mulai agak menyulitkan karena turun hujan. Jalan yang ku lewati sebagian tergenang, membuatnya licin dan kurang nyaman. Pandangan ke depan pun mengalami sedikit gangguan.

14
Tak bisa ku paksakan untuk menambah kecepatan dengan keadaan yang kurang mengenakkan. Aku pilih berjalan lebih pelan, memang menambah waktu, tapi terpenting kujaga keselamatan dengan tetap berusaha melaju ke depan.

15
Adzan berkumandang sebelum aku sampai tujuan. Sudah tak terlalu jauh dari rumah sebenarnya, terus melaju sampai di rumah memang bisa, tapi menyegerakan berbuka lebih utama.

16
Aku tiba di rumah, disambut senyum bapak dan emak yang manis dan cerah. Target waktuku memang tak tercapai, hanya terlewat sekian menit, bukan jam, tapi itu tetaplah sebuah keterlambatan. Tak ku keluhkan itu karena keadaan memang tak memungkinkan. Selama kita mencoba, walau berjalan tak sesuai rencana, asal kita tetap masih berusaha, aku sudah bangga, karena untuk hasil, itu bukan kuasa kita.

17
Kali ini aku siap melakukan perjalanan (lagi). Memang tujuan berbeda, tapi kelanjutan dari perjalanan sebelumnya. Masih dengan sepeda motor andalanku seperti perjalanan yang lalu. Aku akan kembali ke kota dimana aku bekerja, Jakarta. Kondisiku terlihat lebih kuat, sekian hari di rumah memberiku tambahan semangat. Cukup 12 jam saja untuk sampai di ibukota. Itu targetku, itu rencanaku, Tapi aku yakin akan berhasil, karena sekarang aku sudah punya bekal, semangat dan pengalaman.

18
Rencana memang tak selalu sama dengan realita. Keadaan jalan yang kukira akan cukup lengang, ternyata berkebalikan. Begitu banyak mobil dan motor yang mempunyai tujuan sama, ke ibukota. Tak mungkin ku paksakan untuk melaju kencang sesuai inginku. Aku harus mengikuti pergerakan arus di sekitar.

19
Capek, panas, dan hanya bisa bergerak pelan membuatku bosan. Aku menambah porsi rehatku agar bisa lebih segar. Ingin menunggu jalan lebih lengang, itu terlalu lama dan belum tentu datang adanya. Keluh kesah mulai datang, tapi perjalanan tak bisa ku hentikan.

20
Proses. Aku coba menikmati proses. Walau tak selalu berjalan lancar, kadang terhambat di pertengahan, tapi selalu ada hikmah dan pelajaran yang ditemukan. Dan dengan terus mencoba menikmati dan melalui proses, meski berjalan pelan, kita akan sampai pada tujuan.

21
Sebuah perjalanan, entah perjalanan mudik atau perjalanan dalam kehidupan, selalu penuh dengan berbagai kemungkinan, dengan dua garis besar yang berlawanan, antara menyenangkan-menjenuhkan, mudah-susah, tersesat-terarah yang datang bergantian agar kita tidak bosan.

22
Dan kini, perjalanan hidupku sedang berada di persinggahan tahun ke-22. Begitu banyak yang telah diberikan, begitu sedikit yang sudah ku lakukan. Persinggahan yang merupakan kelanjutan dari perjalanan sebelumnya menuju perjalanan ke depan yang lebih akbar. Aku tak tau dimana ujung perjalanan kita ini, atau mungkin tak berujung? Entahlah, aku ingin kita terus berjalan menikmati dan menjalani perjalanan kehidupan ini menuju tujuan yang sama, walau (terkadang) melalui jalan yang berbeda.



* gambar diambil dari sini

Tuesday, September 21, 2010

Surat Untuk "Aku" : review novel MPM


Untuk "Aku" yang ku belum tau namamu,

Aneh rasanya aku mengirimkan surat untuk seseorang yang belum aku kenal. Canggung, aku justru tidak, karena dengan aku tak mengenalmu (dalam kehidupan nyata), membuatku lebih bebas untuk mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan. Tadinya aku sempat bingung, bagaimana aku akan mengirimkan surat ini padamu, sementara, nama dan alamatmu saja belum aku tau. Akhirnya, ku putuskan untuk menulisnya dalam note facebook ini. Barangkali ada (setidaknya) seorang kawanmu yang membaca lalu menyampaikan ini padamu.

Mimpi bertemu dengan seorang manusia mulia, Muhammad SAW tentu sesuatu hal istimewa. Jika seorang muslim yang bermimpi dan menceritakannya saja sudah membuatku terkesan, apalagi engkau yang bukan seorang Muslim. Aku begitu penasaran dan bergegas membaca suratmu itu.

Di mimpimu, Muhammad SAW memberikan sebuah pesan, tentang sesuatu yang lebih utama dan lebih penting daripada iman, dan dia mengatakan, “Kebaikan, melebihi apapun, adalah yang paling utama. Aku menyebutnya ihsan.” Kau heran saat mendengar pesan itu, begitupun aku saat membaca dalam suratmu.

Mimpi yang sebagian merupakan bunga tidur itu kelihatannya begitu memberi kesan mendalam pada hati dan pikiranmu, kau begitu penasaran, hingga kau melakukan sebuah pencarian. Kau meninggalkan untuk menemukan.

Sudah begitu banyak tempat yang kau singgahi dan orang yang kau temui, diawali dengan kau mencari tau tentang apa itu mimpi -dari berbagai sumber-, cukup banyak dan panjang juga penjelasanmu tentang mimpi, menambah pengetahuanku juga, walau menurut pribadiku dosisnya cukup berlebih. Tapi aku rasa memang perlu juga kau mencari tau dulu tentang apa itu mimpi, pemahaman mimpi dari berbagai sudut pandang, karena dari mimpi itulah kau mulai tertarik dengan seorang Nabi dalam keyakinanku, bukan keyakinanmu. Kau cantumkan juga beberapa kisah tentang Muhammad SAW yang penuh hikmah dan mengharukan, juga ada beberapa kutipan dari beberapa buku, kasidah, lagu, puisi tentang Muhammad SAW. Kau begitu bersemangat dalam mencari tau tentangnya.

Di suratmu itu kau mengingatkan aku, hal yang (kelihatan) sederhana, seperti saat kita melihat batu atau paku di jalan, saat ada nenek yang akan menyeberang jalan, apakah untuk mengambil batu/paku atau untuk membantu nenek menyeberang jalan, kita perlu mempertimbangkan mereka yang melewati jalan itu hanya orang Islam atau bukan, apakah nenek yang akan menyeberang jalan itu satu iman atau bukan, tentu saja tidak, kawan. Berbuat kebaikan tak perlu dibatasi dengan sebuah agama dan keyakinan, meski di beberapa tempat ada batasan. Apa mungkin karena hal tersebut, kebaikan (ihsan) lebih utama daripada iman?

Saat aku mulai membaca suratmu, timbul rasa malu pada diriku. Saat kau mulai berkisah bahwa kau bermimpi bertemu Muhammad SAW, tau kah kau, sebelum membaca suratmu aku tak pernah berpikir tentang mimpi bertemu Muhammad SAW, jangankan berpikir itu, untuk memikirkan (ajaran) Muhammad SAW saja aku lebih sering lupa. Bagaimana aku bisa menjadi umatnya yang baik, sementara aku tak pernah dengan baik mencari tau dan belajar memahami kehidupan dan ajarannya. Kalau sudah seperti itu, apa aku tidak malu jika aku marah saat ada umat lain yang membenci dan mencaci Muhammad SAW, sementara aku tak pernah benar-benar mencintainya. Mungkin terlalu berlebihan, tapi bisa jadi jika nanti kita bertemu, kau seorang non-Muslim -yang seharusnya tidak lebih tau tentang Nabiku sehingga perlu bertanya pada aku yang mengaku Muhammad utusan Tuhanku-, malah tak perlu lagi bertanya padaku karena yang kau tanya tak lebih tau dari yang menanyakan.

Suratmu, walau menceritakan tentang pencarianmu terhadap kekasih Tuhan, tetaplah sebuah surat untuk seorang (mantan) kekasih hatimu. Terdapat hal-hal romantis yang kau sisipkan disana. Saat kau hanya mampu menatap gadis manis yang tersenyum di kalender untuk mengobati kerinduan akan senyum manis Azalea, saat kau mengenang "kebodohan" masa mudamu dengan dia, dan di hampir penghujung suratmu ada puisi indah yang kau tulis untuk Azalea, benar-benar menyentuh.

Kawan, mungkin sebenarnya kita “sama”, akupun barangkali "memimpikan” Muhammad SAW, begitupun umat Islam yang lain. Untuk kau, setelah terbangun dari mimpi bertemu Muhammad SAW, kau begitu gelisah, penasaran, hingga kau melakukan pencarian yang sejauh ini sudah ada beberapa hal yang kau dapatkan. Lalu aku tanyakan pada diri, apakah “mimpi” Muhammadku itu mampu membuatku gelisah dan penasaran seperti yang kau rasakan, sehingga aku pun melakukan pencarian? Atau jangan-jangan aku masih terlena dalam “mimpi” Muhammadku itu, masih membiarkan Muhammad SAW bersamaku (sebatas) dalam khayalan, tanpa menghadirkan dia dalam kenyataan.

Sampai lupa, kawan, aku sudah bercerita belum kalau aku mengetahui kisahmu dari sebuah buku. Ya suratmu untuk Azalea dijadikan sebuah buku yang dikemas dengan cukup menarik, covernya pun -menurutku yang awam- cukup bagus dengan perpaduan warna yang tepat walau terlihat agak pekat. Penulis novel itu bernama Fahd Djibran. Kau tau Fahd Djibran? Yang ku tau dia penulis muda berbakat. Ada campur tangan istrinya -yang seorang desainer- dalam pembuatan desain cover bukunya (Fahd yang menulis isinya dan Rizqa yang mendesain covernya, benar-benar pasangan kompak). Suratmu ini lalu dia sampaikan kepada Mas Rizal dan Mbak Nita (sepasang suami istri yang juga tak kalah kompak) dan merekapun setuju untuk menerbitkan suratmu dalam bentuk buku. Mengenai itu, dijelaskan pada interlude di bagian belakang buku. Fahd juga menyampaikan kesannya terhadap isi suratmu itu. Bagus memang penyampaiannya, tapi aku pribadi menjadi merasa agak digiring -dalam menerjemahkan pencarianmu itu dalam suratmu- setelah membaca kesan yang dia tulis, tapi itu tidak masalah, dia atau siapapun yang telah membaca suratmu berhak menyampaikan kesan terhadap isi suratmu yang menarik.

Sebagai penutup suratku, ku ucapkan terimakasih kepadamu (juga Azalea, Fahd dan istri beserta Mas Rizal dan Mbak Nita) yang sudah menghadirkan sebuah kisah yang menarik dan baik ini. Semoga kisahmu bisa memberi kebaikan kepada semakin banyak orang dan juga mampu membangunkan siapapun yang masih terbuai dengan "mimpi" Muhammad SAW untuk segera bangkit dan mencari punggung Muhammad.

Tembusan:
1. Azalea;
2. Fahd Djibran dan Rizqa;
3. Mas Rizal dan Mbak Nita Taufik;
4. Para (calon) pembaca novel MPM.


Wednesday, August 18, 2010

"Dialog" Dini Hari

"Ah, lama-lama bosan juga mendengarkan musik dan internetan".

Satu-satunya hiburan yang ku andalkan dalam perjalanan dengan bis malam, sebuah hp slide yang agak rapuh karena beberapa kali jatuh sudah terasa menjemukan setelah beberapa jam aku paksa dia menghiburku terus-terusan. Ku masukkan dia ke saku celana, ku biarkan dia beristirahat dengan sisa baterai seadanya. Sebenarnya ingin sejenak aku bercakap-cakap dengan sembarang, tapi sayangnya di sebelahku tak ada seorangpun penumpang. Mengajak ngobrol penumpang yang duduk di depan atau belakang, itu tidak nyaman dan merepotkan. Hmm, baiklah, kelihatannya membiarkan pikiran lepas memikirkan apa yang ingin dia pikirkan, atau membuka lembar kenangan sambil menatap luar bis dengan banyak hiasan kegelapan, lumayan tidak menjenuhkan untuk dilakukan.

"Hai, apa kabar? Lagi ngapain?"

Sapaan itu tiba-tiba muncul, mencegat anganku membentuk imajinasi baru. Aku ingin sewot tadinya, tapi sepertinya sapaan ini patut dilanjutkan untuk menjadi sebuah percakapan yang mengasyikkan.

"Ehm, Alhamdulillah baik saja. Seperti yang terlihat, aku lagi nyantai saja, melihat-lihat pemandangan luar bis, sambil membiarkan pikiranku bebas memikirkan apa yang ingin dia pikirkan. Ngomong-ngomong kamu siapa? Kalau boleh sedikit menyampaikan masukan, menurutku basa-basi menanyakan kabar dan tanya lagi ngapain itu tidak terlalu penting. Apalagi sudah terlihat aku lagi ngapain. Terkecuali kalau kamu tanya aku lagi mikirin apa yang tentunya tak kau tau, baru itu layak dipertanyakan. Tapi kelihatannya pertanyaan seperti itu terlalu privasi untuk diajukan ya, hehehe."

"Iya, bener. Tanya kabar gak apa-apa lah, itung-itung dengan ku tanyain kabar, kamu jadi ngucapin syukur ke Tuhan, walau sepele, kadang kamu sering lupa bukan? Kalau pertanyaan lagi ngapain, itu sekedar pelengkap. Berasa kurang saja kalo sudah tanya kabar tapi gak tanya lagi ngapain, hehehe. Ngomong-ngomong soal Tuhan, dulu waktu kecil kamu pernah bayangin wujud Tuhan kaya' apa ya? Ada-ada aja kamu ini."

Aku sempat tercengang mendapat pertanyaan seperti itu. Bagaimana dia tahu hal itu. Sampai-sampai aku lupa akan niatku untuk menanyakan lagi siapa dia yang belum sempat dijawabnya.

"Kamu tau ya? Tadinya aku sudah agak lupa kalau saja kamu gak mengingatkan lagi hal itu. Dulu, namanya masih anak-anak, wajar saja kalau punya imajinasi yang terkadang nyleneh, tapi seiring bertambahnya usia, dengan adanya kedewasaan, aku sadar bahwa wujud Tuhan yang pernah ku bayangkan itu hanya sebatas imajinasi, mungkin karena dulu sering melihat film-film kartun fantasi. Kita, manusia kan gak punya kuasa untuk dapat melihat wujud Tuhan di dunia, kita hanya mampu melihat wujud kuasa-Nya. Lagian sekarang aku sudah gak ingat pasti seperti apa dulu aku mengimajinasikan wujud Tuhan."

"Sudah dewasa juga ya ternyata. Tapi, walau sudah dewasa, kamu pernah ngambek sama Tuhan ya? Hehehe."

Aku belum dapat menangkap maksud pertanyaannya."Maaf, maksudnya? Ngambek?"

"Itu lho, kaya' waktu kamu gagal ngedapetin juara pas lomba Akuntansi, padahal kamu udah nyiapin dengan baik, terus pas selesai lomba kamu udah nyocokin hasilnya dengan temanmu yang lain dan hasilnya sama, tapi saat pengumuman kamu gak masuk sebagai juara sementara temanmu masuk 3 besar. Kamu malah nyalahin Tuhan, nganggep Tuhan gak adil lah, nganggep Tuhan gini-gitu lah."

"O, yang itu, hehehe, ingatanmu bagus jug...." belum selesai melanjutkan kata-kata, tiba-tiba dia menimpali.

"Ingatanku yang bagus atau kamu yang tak mau mengingat kegagalanmu?"

Tindakannya memotong perkataanku serta kata-katanya cukup membuatku tersinggung. Belum lama mengajak berbicara tapi ucapannya sudah tidak mengenakkan. Kelihatannya dia mampu membaca gelagatku. "Ups, maaf, silakan dilanjutkan.", ucapnya meminta maaf.

"Namanya hidup, kegagalan pasti ada, dan menurutku manusiawi jika kita kecewa saat mendapatkan kegagalan. Setidaknya, walau aku kecewa, aku tidak putus asa dari rahmat Tuhan. Aku jadi sadar kalau apapun yang ditetapkan Tuhan emang yang terbaik, meski kadang kita tidak dapat menerimanya dengan baik. Juga membuatku introspeksi diri apa aku kurang bersyukur pada-Nya, apa aku terlalu angkuh, ya semacam itulah."

"Wah, bijaksana juga jawabnya. Setelah itu kamu gak pernah ngambek lagi sama Tuhan?"

"Sebijak apapun manusia, saat tidak mendapatkan apa yang diinginkan, pasti ada rasa kecewa walau porsinya berbeda."

"Termasuk saat kamu gagal ngedapetin cewek yang kamu suka?"

Lagi-lagi pertanyaannya membuatku tersinggung. Kali ini aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya itu.

"Gak mau jawab pertanyaanku ya? Ngambek?"

Aku tetap terdiam, perkataaannya tidak mengenakkan.

"Apa itu yang nyebabin kamu jadi gak sesemangat kaya' dulu?"

Gak semangat? Kenapa dia menyimpulkan aku tidak sesemangat dulu. Aku menjadi tertarik lagi untuk menjawab pertanyaannya.

"Memangnya aku kelihatan tidak bersemangat ya? Menurutku sekarang aku masih semangat, tapi boleh jadi benar katamu kalau aku tidak sesemangat dulu. Mungkin itu karena beberapa hal yang terjadi sekarang tidak sesuai rencanaku.", keluhku.

Terdengar suara tawanya yang tertahan. "Hei, aku sedang mengeluh dan ini tidak lucu, tapi kau malah ketawa!", batinku. Atau mungkin dia tertawa dengan kataku mengenai hal yang tidak sesuai rencanaku salah satunya aku gagal mendapatkan perempuan yang aku suka? Terserah lah dia berpikir apa.

"Tidak sesuai rencana? Kok bisa? Emang gimana rencanamu? Kamu bikin detailnya gak? Kamu bikin batasan waktu di tiap tahapnya gak? Kamu disiplin dengan rencana yang sudah kamu buat gak? Kamu bikin rencana alternatif kalau rencana awal gagal dijalankan gak?", cerocosnya setelah dia berhasil menahan tawanya beberapa saat.

Sempat sebal juga mendengar kata-katanya yang panjang itu. Tapi setelah aku pikir, benar juga kata-katanya. Sebelumnya, apa aku pernah membuat rencana dengan detail, apa rencanaku ada batasan-batasan waktunya, apa aku sudah disiplin, apa aku punya rencana alternatif, cecarku dalam hati.

"O iya, sebelumnya kamu sudah bilang kalau apapun yang ditetapkan Tuhan, walau tidak sesuai dengan keinginanmu, tidak sesuai dengan rencanamu, tetap saja itu yang terbaik kan, jadi gak ada alasan buatmu gak semangat kaya' dulu. Ternyata kamu gak konsisten dengan kata-katamu ya? Payah."

Belum jadi aku mengucapkan terimakasih dengan saran untuk membuat rencana lebih baik itu, ucapnya barusan membuatku mengurungkan niatku memujinya.

"Kok diem saja? Tersinggung lagi dengan kata-kataku? Ya sudah, aku minta maaf lagi."

Dia, mudah sekali menyinggung perasaan orang lalu meminta maaf, menyinggung lagi lalu minta maaf lagi, hmpf.

"Tapi, seharusnya gak tepat juga kalau kamu masih gak semangat. Bukannya sekarang kamu lagi suka sama cewek ya? Cieee."

"Ng..... kamu seperti wartawan gosip saja, sok tau dan suka mencampuri urusan pribadi orang.", balasku meski sebenarnya aku sudah terlalu malas menjawabnya.

"Ayolah, gak usah sungkan gitu, cerita saja. Namanya siapa? Anak mana? Sudah bilang ke dia kalau kamu menyukainya belum? Kapan mau melamar?"

"Cerewet!!! Ternyata ada juga ya cowok secerewet kamu."

"Iyaya, ternyata ada juga ya cowok sejaim kamu."

Sial. Perkiraanku bahwa ini akan menjadi percakapan yang mengasyikkan rupanya salah. Ingin segera ku akhiri percakapan yang terus memancing emosi. Sebentar, kalau aku tak melanjutkannya, "lari" darinya, bisa-bisa dia akan semakin mengejekku. Baik, aku tak boleh mengakhiri percakapan ini begitu saja. Butuh waktu beberapa saat agar emosiku kembali stabil dan aku bisa menjawab pertanyaannya.

"Wajar laki-laki menyukai perempuan, siapa namanya dan darimana itu tak perlu ku ceritakan, nanti kalau sudah siap semuanya juga tahu."

"Sudah siap semuanya? Emang bisa? Persiapanmu sudah sejauh mana? Jangan kelamaan, ntar keburu dia jadi istri orang, hahaha.", katanya disertai tawa ejekan darinya.

"Kamu ini......"

"Kamu mau nyiapin apalagi?"

"Banyak lah."

"Bilang saja persiapanmu belum jelas. Rencanamu emang gak pernah matang. Paling, kamu juga belum siap mendapat tanggung jawab lebih untuk menjadi kepala keluarga."

"CEREWET!"

"jaim."

Kemarahanku mulai meledak. Dan entah berapa kali ada jeda sunyi yang hadir agar aku bisa lebih mengendalikan diri.

"Ayo, cerita lah, yang jujur saja, barangkali aku bisa membantu persiapanmu.", sekarang dia berkata lebih sopan, mungkin tau aku sudah segan.

"Terimakasih, tapi sejauh ini aku masih bisa meng-handle-nya.", aku pun berusaha menjawabnya dengan sedikit pelan.

"Kamu gak percaya sama aku?"

"Percaya, tapi bukan berarti harus menceritakan semuanya padamu kan?"

"Itu namanya kamu gak percaya!"

Dan lagi aku nyaris terbawa emosi, tapi kali ini aku harus lebih terkendali. Mengakhiri percakapan tepat menjadi pilihan daripada ku harus menahan emosi terus-terusan. Untunglah bis berhenti sesampai di tempat pemberhentian. Segera aku beranjak dari kursi penumpang, bersiap melangkah keluar.

"Kamu mau kemana? Aku masih ingin mengobrol banyak denganmu?"

Aku menunda sejenak langkahku. Ingin lagi ku timpali kata-katanya, tapi sudah ku putuskan untuk tak menghiraukan. Lebih baik ku lanjutkan lagi langkahku keluar.

"Hei, tunggu! Masih banyak yang ingin ku katakan! Masih banyak tanya yang perlu kau beri jawaban! Kenapa kamu seperti itu. Kenapa kamu gak mau jujur dan percaya padaku. Aku ini kamu!"

Mendengar katanya barusan memaksa langkahku ku tahan. Apa yang baru saja ku dengar? Dia bilang dia itu aku? Yang benar saja? Aku mencoba menengok ke sekitar, barangkali ku temukan sosok darimana suara itu berasal. Tindakanku percuma, tak ada siapa-siapa yang pantas ku tuduhkan. Iya juga, dari tadi aku bercakap-cakap, memang tak ada sosok di hadapan, aku hanya sekedar menimpali, membalas pertanyaannya, tanpa peduli dari (si)apa suara itu datang. Tapi kenapa percakapan itu terasa tidak abstrak, sampai sempat menarik emosiku ke puncak. Kalau benar tadi nyata, seharusnya penumpang lain merasa terganggu dengan obrolanku dengannya. Ah, entahlah, bukan perkara besar untuk terus ku pikirkan. Aku melanjutkan langkahku menuju rumah makan di tempat pemberhentian. Samar-samar suaranya masih sekilas terdengar.

"Gimana kamu mau jujur dan percaya dengan orang lain kalau dengan diri kamu sendiri kamu tidak bisa jujur dan percaya.", lanjut suaranya yang semakin lama semakin hilang di tengah keramaian rumah makan.

--oOo--

Seluruh penumpang kembali duduk di kursi semula setelah selesai menuntaskan hajatnya. Aku pun kembali duduk di kursiku. Kali ini aku angkat tasku, ku dekapkan dia di depan dadaku untuk mengurangi dinginnya udara AC yang menyebar. Mata ini sudah mulai merengek menuntut haknya untuk dipejamkan. Entah karena kelelahan atau bosan, aku mulai tak tersadar sebelum kemudian terdengar suara yang beberapa waktu lalu begitu familiar.

"Kawan, sekarang percakapan kita sudah dapat dilanjutkan?"


(Terinspirasi untuk menuliskan note ini dalam kesendirian memikirkan aku, kamu, mereka, dan Dia, selagi mendengarkan lagu milik Dialog Dini Hari - Aku Adalah Kamu, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Wonosobo, Sabtu,14 Agustus 2010)

Thursday, July 1, 2010

Rahim : Sebuah Dongeng Kehidupan

Beberapa minggu lalu saat aku sedang di Wonosobo, di petang hari lik-ku berkunjung ke rumahku. Bukan suatu yang spesial sebenarnya, karena beliau masih 1 kampung dan sering juga berkunjung. Seperti wajarnya dalam setiap kunjungan, kami (bapak, emak, lik, dan aku) mengobrol kesana-kemari.

Lik ku bercerita,“Aku kalo pulang kerja kadang gak enak ama simbah. Beliau suka sekali ngerjain ini-itu, beres-beres rumah, dsb. Padahal aku udah bilang ama simbah, gak usah ngerjain ini-itu, kasihan udah sepuh, ntar capek. Mending simbah istirahat aja. Kan walo aku pulang agak maleman, masih bisa lah ngerjainnya. Tapi, kalo dibilangin gitu, simbah malah “marah” dan bilang ‘kan gak papa simbah ngerjain ini-itu, kalo disuruh istirahat aja, simbah malah bingung, dan bla bla bla’. Kadang ampe agak “geregetan” juga ngasih taunya.”

Emak lalu menjawab,“Ya, namanya aja orang tua dik. Simbah gak tega liat kamu kerja dari pagi ampe malam, terus nyampe rumah harus ngerjain pekerjaan rumah. Emang kadang jengkelin juga, kita kan niatnya baik, biar simbah gak capek, tapi kalo dibilangin malah sewot. Tapi namanya orang tua juga lama-lama jadi kaya’ anak kecil, dikasih tau sedikit, bisa ngambek, juga jadi tambah cerewet, hehehe. Mungkin ntar kita kalo sudah tua juga kaya’ gitu ya dik?”

“Hahahaha”, emak, lik, dan aku yang cuma mendengarkan pun ikut tertawa.

Begitulah lebih kurang percakapan emak dan lik ku di suatu petang. Mereka berdua, sama-sama seorang wanita, seorang ibu, dan seorang anak dari simbahku. Di satu sisi mereka kadang merasa “gemes” juga melihat tingkah orang tuanya yang kadang berlebih dalam berbuat baik pada anak-anaknya. Tapi, di sisi lain mereka juga sadar bahwa mereka pun seorang ibu yang selalu ingin berbuat lebih untuk kebaikan anaknya.

Jumat sore, 25 Juni 2010, pesananku sebuah novel dongeng karya Fahd Djibran berjudul Rahim sudah aku terima. Awalnya aku tidak berencana untuk pre-order buku tersebut, tapi setelah membaca note di facebook-nya, akhirnya ku putuskan untuk pre-order.

Seperti sudah ku tulis tadi, walaupun ada yang menyebut ini sebagai novel pertama Fahd Djibran setelah sebelumnya menulis beberapa buku (A Cat in My EyesCurhat Setan, dll), tapi aku lebih suka menyebutnya sebuah dongeng, atau lebih tepatnya Sebuah Dongeng Kehidupan (itu yang ditulis di cover-nya). Aku memang tidak terlalu tau apa itu novel, tapi menurutku karya terbaru Fahd Djibran tersebut memang lebih cocok disebut dongeng.

Yap, dalam dongeng Rahim ini, kita akan berkenalan dengan seorang bernama Dakka Madakka (begitu membaca namanya, aku langsung menuduh dia sebagai orang Sunda, padahal dia berasal dari Kota Ura. Kau tau Kota Ura?). Dia mempunyai profesi aneh bernama Pengabar Berita dari Alam Rahim. Tak perlu kau mengernyitkan dahi begitu tau profesinya itu karena begitulah adanya. Dia akan menceritakan tentang apa-apa yang pernah kau alami di alam rahim yang kelihatannya sudah kau lupakan.

Kau (saat masih dalam alam rahim rencananya kau akan diberi nama Mikal oleh kedua orang tuamu), seorang yang pernah tinggal di alam rahim dalam rentang waktu sekitar 9 bulan 10 hari akan diajak berkilas balik tentang kisah-kisah yang kau alami saat kau berada disana. Kau masih ingat pertemuanmu dengan Kucing yang Bisa Berbicara? Ikan Mas yang Bekerja sebagai Koki? Amadeus? Aynu si Gadis Buta Penunjuk Jalan? Profesor Waktu? Nenek Olav? Atau Mahavatara? Kalau kau sudah lupa, segeralah temui Dakka.

Juru dongeng akan bercerita dengan rangkai kata yang mudah kau ikuti walau di beberapa tempat dia menggunakan istilah asing yang mungkin tak kau pahami. Tapi tenang saja kawan, dia akan memberikan penjelasan tentang istilah-istilah asing tersebut. Lumayan buat tambahan perbendaharaan ilmu kita. Selain itu, pengetahuanmu tentang alam rahim akan bertambah. Jika sebelumnya kau belum tahu fase yang dialami seorang calon bayi dari saat sperma berhasil membuahi sel telur hingga dia lahir, membaca buku ini kau akan menjadi (lebih) tau.

Untuk bagian yang berjudul Ibu, aku rasa ini bagian yang paling aku suka. Juru dongeng sudah mengingatkan sebelumnya bahwa di bagian inilah akan disampaikan salah satu alasan terpenting mengapa Pengabar Berita dari Alam Rahim ditugaskan ke dunia. Membacanya beberapa lembar, membuatku merinding, hampir-hampir aku meneteskan air mata. Di bagian ini kita memang akan dipertemukan dengan kisah tentang seseorang yang (kebanyakan orang) begitu dekat dengannya, Ibu. Mungkin karena itulah, bagian ini mampu membuatku hampir meneteskan air mata (selain kepiwaian juru dongeng dalam merangkai kata tentunya). Aku tak mau menceritakan detail kisahnya seperti apa karena kau bisa mengintip sebagian isinya disini. Atau bila kau ingin baca lebih lengkap, bacalah di bukunya, hehehe.

Untuk menemukan pesan "sederhana" dalam buku ini, kau tak perlu susah payah untuk mencarinya, karena juru dongeng akan secara gamblang memberitahumu. Tapi, kalau kau ingin mendapatkan pesan yang lebih dari itu, perlu kejelian lebih saat membacanya. Semua tokoh, kejadian, percakapan yang dihadirkan juru dongeng, bukan dihadirkan tanpa suatu sebab.

Aku bukan seorang pembaca buku yang hebat, bahkan tergolong orang yang malas membaca buku. Aku mudah bosan jika harus duduk berlama-lama untuk membaca. Tapi, ternyata dongeng Rahim dapat ku selesaikan dalam waktu kurang darii 2 x 24 jam, dan itu sudah aku selingi dengan berbagai macam kegiatan yang cukup menyita waktu juga. Tak perlu kau kaget kenapa aku bisa menyelesaikannya dalam jangka waktu cukup singkat (untuk ukuranku). Buku 316 halaman ini (untuk buku yang aku dapat, aku dapat “bonus” dobel halaman dari halaman 215 – 230, hahaha) ditulis dengan kata yang mudah dimengerti, mengalir begitu saja, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan disisipi gambar-gambar yang kreatif, ditambah dengan cover yang unik. Ada kata-kata yang kurang ketikan barang 1 huruf pada beberapa tempat, tapi itu tidak terlalu banyak, mungkin tidak sampai hitungan 5.

Secara keseluruhan, aku suka dengan novel dongeng pertama karya Fahd Djibran ini. Perlu dibaca untukmu yang (nantinya akan) mengandung seorang bayi dalam rahimmu atau untukmu yang (nantinya akan) mengikuti perkembangan bayimu dalam rahim istrimu. Resapilah hingga meresap ke hati agar kau lebih menghargai hidup, karena jika kau tau, dongeng Rahim bukan sekedar dongeng tentang rahim. Pastinya ada beberapa perbedaan selera dalam cara penyampaian, plot, dsb, tapi itu bukan intinya, yang penting Fahd Djibran sudah berani keluar dari arus tipe-tipe cerita yang ada saat ini. Rahim bisa menjadi salah satu alternatif bacaan bila kau ingin membaca kisah tak biasa yang disampaikan dengan sederhana, namun ada makna luar biasa di dalamnya.
Kau tau, alam dunia ini juga sebuah rahim, Rahim Semesta yang akan membentuk dan mematangkan dirimu dan kesadaranmu hingga suatu saat nanti kau “lahir” ke alam yang lain.

Sunday, May 2, 2010

Surat Komet : Alangkah Lucunya (negeri ini)


Adalah yang pertama gue ucapin makasih buat loe yang mau baca surat gue (waduh kok jadi kek Ribut ngomongnya). Pas baca surat ini loe jadi tau kalo gue masih bisa ngasong dan belom ketangkep ama Satpol PP, setidaknya itu sampe gue selesai bikin dan ngirim surat ini.
Gue seneng waktu tau ada sutradara yang mau bikin pilem tentang gue. Tumben-tumbenan aja kisah anak-anak pencopet diangkat jadi pilem. Emang ada ya yang mau nonton pilem kek gini? Tapi bukan urusan gue juga si, sutradara ama produsernya pasti udah mikirin itu karena mereka juga butuh duit buat ngehidupin keluarga mereka.

Di pilem ini ceritanya gue ditemuin ama seorang yang lagi nyari kerja. Dia ngikuitin gue waktu abis nyopet. Gue agak heran juga pas ketemu dia kok gue lagi sendirian ya, padahal biasanya gue nyopet ama temen-temen kelompok copet pasar dan balik ke markas juga bareng-bareng mereka. Tapi gak tau juga, waktu ketemu dia kok gue lagi sendirian. Nama orang yang ngikutin gue itu Bang Muluk. Keknya dia pintar soalnya dia Sarjana Manajemen. Dari Bang Muluk itulah gue ama temen-temen kenal Bang Samsul ama Mbak Pipit. Mereka bertiga yang ngatur dan ngajar kami biar suatu saat nanti kami gak nyopet dan jadi pinter. Tentunya mereka bisa gitu setelah dapet ijin dari Bos Jarot.

Tadinya gue heran juga kenapa Bos Jarot ngijinin mereka buat nyampurin urusan kami. Toh tanpa diatur-atur mereka kek dulu nyopet juga bisa jalan terus. Tapi abis denger presentasi (presentasi apaan si?) dari Bang Muluk yang lulusan sarjana, Bos Jarot nurut aja. Memang kok kalo orang pinter gampang banget ngatur-atur yang gak pinter. Makanya, kami jadi pengen pinter biar bisa nyopet lebih banyak, tapi gak nyopet di pasar lagi. Kata Bang Samsul itu namanya koruptor. Hidup Koruptor!

Mungkin loe agak ngrasa aneh ya kok bisa-bisanya gue ditemuinnya ama sarjana pengangguran, kenapa bukan yang laen. Apa sarjana pengangguran itu banyak banget ya yang luntang-lantung kek Bang Muluk? Tapi yang jelas gue gak bakal ketemu ama wakil rakyat. Mereka keknya lagi sibuk ngurusin diri mereka sendiri kek Bang Jupri.

Dengan kedatangan Bang Muluk dkk, kehidupan kami jadi berubah. Selain nyopet, kami belajar jadi kami bisa tau Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, bisa ngrasain upacara bendera, bisa tau agama kami itu apa, tau rukun Islam, tau cara sholat, dan macem-macem. Selaen itu kami jadi ngrasa ada yang merhatiin kami. Selaen Bos Jarot, keknya gak ada lagi yang merhatiin kami. Orang tua kami aja gak merhatiin, bahkan gak tau siapa orang tua kami.

Bukan cuma kehidupan kami yang berubah, kehidupan Bang Muluk juga ikut berubah. Dia sekarang jadi bisa beli sosis tiap hari buat dikasih ke keluarganya ama yang laen. Mereka keknya seneng banget makan sosis, jadi tiap hari Bang Muluk bawainnya sosis dan mereka langsung makan dengan senangnya.

Hasil nyopet kami juga gak dipake seenaknya ama Bang Muluk, tapi ditabung di sebuah bank yang pelayan ceweknya pake jilbab. Tabungannya udah banyak juga, katanya udah 21 juta-an (padahal gue aja gak tau 21 juta itu sebanyak apa). Bang Muluk juga udah bisa beli motor dinas buat mudahin dia ngurusin kami. Motornya keren lho, kalo gak percaya, coba aja tanya bapaknya Bang Muluk.

Ngomong bapaknya Bang Muluk, jadi inget, dia pernah dateng juga ke markas kami ama bapaknya Mbak Pipit terus ama calon mertuanya Bang Muluk. Mereka kelihatan kaget waktu tau kami ini pencopet. Emang ada apa ama pencopet? Padahal kata Bang Samsul mereka biasa aja kalo ngliat pencopet uang rakyat, gak sekaget waktu ngeliat kami. Tapi, keliatannya bapaknya Bang Muluk emang bener-bener gak suka ama pencopet. Besoknya Bang Muluk ama yang laen langsung pamitan dan bilang mau nyari kerjaan yang lain. Apa karena nyopet itu bukan kerjaan bener, jadi duit hasil nyopet itu haram? Kalo seperti gue ini yang dari kecil udah jadi copet, berarti dari kecil juga gue makan duit haram?

Sebelum ninggalin kami, Bang Muluk nunjukin 6 kotak asongan yang sempet kami biarin. Kami, memang tadinya gak mau ngasong karena duit yang didapet gak sebanyak waktu nyopet. Tapi setelah dikasih tau kalo ngasong itu lebih baik daripada nyopet, kami jadi mau buat ngasong. Di kotak itu juga kata Bang Muluk ada minuman kesukaannya. Katanya itu minuman ion alami. Waktu dulu dia lagi kesana-kemari nyari kerjaan, dia minum minuman itu sambil istirahat ama seorang anak jalanan, tepat di dekat papan iklan minuman ion itu. Mbak Pipit yang juga ngedenger cerita Bang Muluk, ikut nambah-nambahin, “Minuman ion itu jadi sponsor quiz yang gue ikutin lho. Ama motor dinasnya Bang Muluk, itu juga jadi sponsor quiznya”.

Denger-denger loe suka ya ama pilem gue. Katanya ceritanya enak diikutin, menghibur, terus apa itu, realistis ama banyak kritikan sosialnya ya? Gue juga suka ama pilemnya, soalnya sutradaranya bisa bikin pilem yang gue banget, bener-bener kek kehidupan gue sebenarnya. Yang laen juga katanya gitu, yang anggota DPR suka janji-janji kalo mau pemilihan, yang ibu-ibu maen game ama ngisi TTS terus padahal tagihan telepon belom dibayar, yang hobi ikutan quiz di tipi atau maen gaple ama temen-temen karena gak ada kerjaan, atau apalah, katanya beneran ada di sekitar kita ya? Mungkin karena ceritanya gak muluk-muluk, tapi kek kehidupan sehari-hari itulah makanya pemainnya pada bisa maen dengan baik ampe loe nangis waktu nontonnya. Terimakasih loe udah kasihan ama nasib gue ama temen-temen. Tapi sebenarnya loe gak perlu kasihan ama kami, karena kami gak butuh kalo cuma dikasih rasa kasihan. Bukannya kami minta macam-macam, tapi kami juga warga negara Indonesia yang seharusnya dapet pengayoman dari negara kan? Loe juga pasti udah tau kalo disono itu masih banyak banget yang bernasib kek gue, bahkan mungkin lebih parah.

Katanya loe agak kecewa ama akhir cerita pilemnya, nggantung gitu. Maksudnya nggantung gimana? Loe pengen ngeliat di akhir cerita Bang Muluk berhasil ngembangin usahanya, ngebina gue ama temen-temen dari pencopet ke pengasong terus bikin kios lalu berkembang jadi supermarket terus jadi konglomerat, dst? Kalo pengen kek gitu, mending loe nonton sinetron aja di tipi. Emangnya gampang apa ngerubah nasib gitu. Iya, pasti Tuhan ngasih jalan ke hamba-Nya, tapi gak secepat itu kali. Yang penting gue gak nyopet lagi, soalnya sekarang gue udah tau kalo nyopet tu haram, mending jadi pengasong yang kerjaannya halal, yach walopun harus ati-ati karena Satpol PP rajin ngrazia gue ama temen-temen.


Komet


(Loe gak usah kaget kenapa gue bisa nulis surat. Ini bukan tulisan gue, kan loe tau gue baru bisa nulis huruf A, itupun dengan gaya bebas. Ini gue ditulisin ama seseorang yang lagi berbaik hati nulisin dan bantu gue nyusun kata-kata di surat ini. Katanya dia udah kerja di kantor pemerintahan, tapi gak tau juga dia koruptor apa bukan, yang jelas kelihatannya dia bukan orang pinter soalnya dia belum sarjana).