Karena semua apa dan siapa, dicipta bukan tanpa makna.

Friday, March 26, 2010

Berhati(-hatilah)




Hati layaknya cuaca, sulit dimengerti, saat kau melihat awan yang mendung, kau mengira hujan akan segera turun, kau menunggu beberapa waktu, ternyata tetap saja hujan belum juga turun. Mendung yang dari tadi sudah datang, masih tetap terdiam dan belum diijinkan oleh Tuhan untuk menurunkan airnya dari langit. Malah bisa juga, seketika langit menjadi cerah. Begitu pun hati, kadang sulit dimengerti, ada saat dimana kau merasa hati ini telah tumbuh rasa cinta pada seorang manusia, saat kau mulai merasa ada tanda-tanda dia membalas sinyal cintamu, kau mulai mendekatinya, mencoba lebih mengenalnya, lalu kau membulatkan tekad untuk meminangnya, tapi ternyata, saat tiba waktunya dia memberi jawaban, dia memberikan jawaban yang berlawanan dengan apa yang kau ekspektasikan. Sabar kawan, hidup memang kadang penuh dengan hal tak terduga, tapi semangat, setidaknya kau sudah berusaha.

Bercerita tentang hati memang sangat menarik. Semakin kita mencoba pahami, semakin banyak yang belum dimengerti. Tapi kawan, bercerita tentang hati, bukan berarti kita hanya akan bercerita tentang perasaan cinta seperti cerita di atas tadi. Kita sudah terlalu terbiasa membiasakan diri kita, bahwa saat bercerita tentang hati, maka pikiran kita langsung tertuju pada perasaan cinta. Begitu juga saat kita bercerita tentang cinta, maka kita akan langsung tertuju pada cinta dua sejoli. Hentikan itu, kawan. Hati terlalu luas jika hanya untuk menampung rasa cinta, dan cinta pun terlalu luas jika hanya diisi dengan cinta dua sejoli.

Dalam laut masih bisa kita tau, tapi dalam hati, siapa tau? Kata-kata yang sudah teramat sering kita dengar. Mungkin kau bisa paham dengan apa yang mulut ini katakan, tapi sangat mungkin sekali kau tidak paham dengan apa yang hati ini batinkan dan rasakan. Sesekali kita pernah menggoda teman kita dengan gurauan yang kita anggap biasa. Tapi, taukah kawan, bisa saja dia yang kau goda dengan gurauan biasa mu ternyata sedang menahan sakit di hatinya. Mungkin saja gurauan mu itu biasa menurutmu tapi tidak menurutnya. Pernahkah kau kira, saat aku sedang bertutur lembut padamu, saat aku sedang memberi senyum manis padamu, ternyata hati ini sedang mencacimu, sedang mengumpat atas segala sifat burukmu. Ah, kenapa aku sepicik ini. Aku, tak bermaksud mengajakmu untuk berprasangka buruk pada mereka yang bertutur lembut dan tersenyum manis padamu, kawan. Tidak, tidak seperti itu. Tadi aku sekedar memberi contoh yang mungkin termasuk dalam kondisi ekstrim. Masih banyak orang yang bisa bertutur kata lembut dan tersenyum manis di mulut dan hatinya. Aku hanya ingin kau ingat kembali, bahwa isi hati ini misteri, apa yang kau lihat, kau dengar, dan kau rasa tak selamanya sama dengan apa yang sebenarnya. Kita hanya bisa menyangka apa yang mereka pikirkan dan batinkan. Tapi itu tetap saja sebatas sangkaan. Bukankah sebagian prasangka hanya akan menambah dosa?

Kawan, seperti sudah ku tuliskan di awal, bahwa hati ini terlalu luas jika hanya diisi dengan cinta, terlebih jika hanya diisi dengan cinta dua sejoli. Karena itulah, terkadang, saat hati yang memang luas ini hanya diisi dengan isi yang sedikit, maka akan mudah sekali hati itu diisi dengan isi-isi yang tidak semestinya.
Ada yang bilang kalau hati ini bisa diibaratkan layaknya rumah. Kita ambil contoh tiga rumah saja. Rumah pertama adalah sebuah rumah mewah yang berisi berbagai perhiasan, simpanan uang, dan lain sebagainya, tapi mempunyai sistem keamanan yang canggih dan penjaga yang banyak dan kuat. Sedangkan rumah kedua adalah rumah biasa sebagaimana umumnya dengan beberapa perhiasan dan simpanan uang di dalamnya. Sementara rumah ketiga adalah rumah kosong tak berpenghuni yang tak terawat dan tak ada perhiasan dan simpanan uang di dalamnya.

Untuk rumah pertama adalah hati manusia yang sudah sangat kuat imannya. Walau di dalam nya berisi harta berlimpah, tapi setan dan nafsu sangat sulit dan hampir tidak mungkin bisa masuk ke dalamnya karena sudah dijaga oleh “penjaga” yang sangat kuat. Untuk rumah ketiga yang kosong adalah hati manusia yang tak beragama, kafir, rumah seperti itu jelas tidak akan diambil barang-barangnya karena rumah ini tidak berisi barang berharga, tapi rumah seperti ini akan menjadi tempat yang sangat enak bagi setan dan nafsu untuk tinggal. Dan terakhir rumah kedua, rumah biasa yang berisi perhiasan dan simpanan uang dengan pengaman yang biasa pula. Inilah seumpama hati kita pada umumnya. Saat kita terjaga, kuat, dan sehat, kita akan bisa menjaga rumah hati kita dengan baik sehingga si “pencuri” tidak bisa / berani masuk, tetapi saat kita tidur, lemah, dan sakit, “pencuri” itu akan mudah sekali masuk dan mencuri perhiasan dan simpanan kita. Karena itu, kita perlu terus menjaga “kesehatan” diri kita agar tetap sehat menjaga rumah hati kita. Memang, semua berasal dari Tuhan, rumah hati kita bisa terjaga juga karena kuasa-Nya, tapi semua itu tergantung usaha kita juga, bukan? Dan ingat pula, kawan, tetangga yang sehat dan kuat, selain mereka bisa menjaga rumah hati mereka masing-masing, mereka juga bisa membantu kita saat kita lemah dalam menjaga rumah hati kita.
Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati.” (H.R. Al-Bukhari)
p.s. : tiba-tiba aku merasa malu setelah selesai menuliskan ini, seolah-olah aku seperti orang yang sudah pandai menjaga hati saja berani menulis seperti ini, padahal aku masih jauh dari itu. maafkan aku kawan sudah menggurui mu :)

Tuesday, March 23, 2010

Ini Tentang Asa, Rasa, dan Masa



Ini tentang asa. Asa tentangku, tentangmu, dan tentang kita. Bukankah setiap orang punya asa? Aku, kamu, dia, kalian, mereka, pasti punya asa. Mungkin asaku tidak sama dengan asamu, tapi tetap saja itu sebuah asa. Laiknya sebuah layang-layang, aku punya layang-layang berbentuk biasa dengan bergaris merah hitam di tengah dominan warna putihnya, sementara kau, punya layang-layang berbentuk burung indah dengan warna-warni cantik di sayap dan seluruh tubuhnya. Layang-layangku yang biasa dan layang-layangmu yang indah tetap saja bernama layang-layang. Hanya saja, layang-layangku yang sederhana dan gak neko-neko itu mungkin bisa lebih mudah dimainkan dan diterbangkan. Tapi, kau tak perlu khawatir, kawan, layang-layangmu yang indah itu tetap berpeluang untuk bisa dimainkan dan diterbangkan. Dan jika kau berhasil menerbangkan layang-layangmu, maka layang-layangmu akan menari-nari dengan indah di awan, dan pastinya jauh lebih menawan dibanding layang-layang ku yang biasa. Itu tergantung, apakah kau benar saat membuat kerangka layang-layang, kau pakai benang yang kuat untuk memainkan, dan tentunya kau harus punya kemampuan untuk bisa menerbangkannya. Oh ya, satu lagi, meskipun kau sudah memliki semua yang ku sebutkan tadi, bisa saja layang-layangmu nanti akan terombang-ambing di awan atau sama sekali gagal kau terbangkan, karena masih ada angin-Nya yang bisa menggerak-gerakkan layang-layangmu sesuai dengan kehendak-Nya.



Balik lagi, sebenarnya apa asa yang sedang ku ceritakan, kawan? Sabar, tak perlu kau pasang muka penasaran seperti itu. Tatapan matamu yang tajam, tak perlu terlalu kau tujukan padaku. Kau tau sendiri aku mudah malu jika ada yang terlalu lama memandangku. Ah, tapi kaupun tetap takkan tau saat aku malu. Wajah memerah yang kan muncul saat aku malu takkan kau temukan di wajahku yang sudah cukup pekat ini. Kelihatannya kau sudah tak sabar ingin tau asaku ini. Baik aku katakan. Kawan, ini asa tentang sebuah rasa.



Ya, ini tentang rasa. Rasa dimana kau merasa nyaman dengan seseorang yang mungkin jodohmu. Sekedar berbicara dengannya sepatah dua patah kata cukuplah kiranya. Tak perlu terlalu banyak bercanda atau basa-basi belaka. Atau lebih enak kalau diajak jalan berdua? Stop, dia belum halal bagiku, kawan. Sebentar. Jangan tersenyum-senyum seolah kau tahu siapa yang sedang ku bicarakan. Kau manusia normal dan bukan paranormal kan? Jadi, tak perlu kau merasa tau siapa yang ku bicarakan. Atau, jangan-jangan kau yang ku maksud adalah kau yang sedang membaca tulisan ini. Tunggu, aku atur nafasku dulu, tarik nafas dalam-dalam, tahan sebentar, yap keluarkan. Oke kita lanjutkan.



Aku, kau, dia, kalian, mereka pasti punya rasa. Tak peduli itu rasa senang, sedih, bahagia, kecewa, tetap itu adalah rasa. Manis tak akan kita rasa manis dan kita syukuri jika kita belum merasakan pahit bukan? Tapi, rasa yang ingin ku ceritakan bukan rasa yang pahit, ini manis, kawan. Rasa pahit yang kemarin-kemarin sudah cukuplah. Sedikit banyak sudah ada pelajaran dan hikmah yang bisa diambil. Tapi rasa ini mungkin bukan akan ku gapai sekarang. Karena, ini tentang rasa dalam melewati suatu masa.



Benar, ini tentang masa. Setiap apa dan siapa pasti ada masanya, dan setiap apa dan siapa, butuh masa untuk ada. Ada masa saat layang-layang kita bisa terbang tinggi di awan, menari-nari dengan cantik disana, dan membuat kita bangga dengannya. Tapi, untuk bisa terbang di atas awan, kita butuh masa untuk melakukannya, masa untuk mempersiapkan layang-layang dan diri kita, masa untuk mencari serta memilih kapan dan dimana kita akan memainkan layang-layang kita lalu memutuskan waktu dan tempat yang terbaik untuk memainkannya. Dan tibalah masa dimana kita mulai beraksi, berlari-lari dan berjuang menarik layang-layang kita agar bisa terbang, sembari menunggu angin-Nya yang tepat menyapa layang-layang kita, atau sesekali kita meminta tolong teman untuk memegang layang-layang kita agar kita mudah menerbangkannya.



Dalam masa ini, akan ada fase yang dilalui. Masa saat mempersiapkan, mencari, memutuskan, lalu memperjuangkan, ah betapa indahnya bila kita bisa menikmati setiap fase masa yang akan kita lalui. Melewati masa mempersiapkan yang seringkali butuh waktu lama atau terkadang dibuat lama, begitupun saat mencari, memutuskan, lalu memperjuangkan. Dalam memutuskan, kita kan dihadapi pada 2 pilihan, ya atau tidak, kita pilih maju atau mundur. Kalau kita pilih mundur, berarti kita harus mengulang lagi fase-fase sebelumnya. Kalau kita pilih maju, inilah saatnya kita memperjuangkannya. Memperjuangkan atas apa yang kita putuskan untuk dipilih bukan hal yang mudah, kawan. Banyak godaan yang akan datang. Dan taukah, saat kita telah memutuskan atas suatu pilihan, kita tidak bisa mundur dan harus siap atas segala resiko yang menyertainya. Ah, kenapa aku menjadi seserius ini menceritakan asa, rasa, dan masa.



Kawan, ini tentang asa, rasa, dan masa. Asa dalam mewujudkan suatu rasa, yang akan dilalui dalam beberapa fase masa. Tersenyum dan yakinlah, asa rasa ini akan indah pada masanya, dan bersabarlah, karena setiap apa dan siapa pasti ada masanya, dan setiap apa dan siapa, butuh masa untuk ada.

Kopi Bapak





Sabtu pagi yang lalu, setelah berziarah ke makam simbah, aku, bapak, serta beberapa tetangga minum kopi dan merokok sembari bercengkarama di ruang tamu rumah kami yang cukup mini. Akhirnya, setelah cukup lama tidak minum kopi, pagi itu, aku kembali menikmatinya. Minuman yang dulu hampir setiap hari menyapa bibirku, sekarang hampir sudah tak pernah lagi ku minum. Aku sudah lupa kapan pastinya aku terakhir ngopi sebelum pagi itu.





Dulu, aku, mas, mbak dan emak suka sekali minum kopi, tapi bukan sembarang kopi. Bukan kopi yang luar biasa si sebenarnya, tapi terasa begitu spesial buat kami. Kopi yang suka kami minum itu adalah kopi yang sudah diminum bapak, atau biar lebih singkat aku sebut saja Kopi Bapak. Ya, kopi dalam satu gelas yang tak terlalu besar yang sebenarnya diperuntukkan buat bapak, tapi kami minum rame-rame secara bergantian setelah bapak minum barang hanya seteguk, dan kadang memang hanya seteguk, tidak dilanjutkan dengan tegukan-tegukan lain karena segelas kopi yang baru sekali dua kali diteguk bapak itu sudah kami habiskan dalam waktu yang tidak begitu lama. Sungguh cukup aneh, tapi indah dan manis untuk dikenang. Kalo mau, sebenarnya kami bisa saja bikin segelas kopi untuk sendiri, lalu meminumnya. Bukankah seharusnya itu lebih puas dan nikmat, karena hanya kami sendiri yang meminumnya. Tapi entah kenapa, tetap saja kami lebih memilih kopi yang sudah diminum bapak.





Kadang, aku berebut dengan mas agar bisa meminum lebih dahulu kopi bapak tersebut, terutama saat kami masih kecil. Bapak hanya tersenyum, begitu juga emak. O ya, walaupun emak tidak ikut berebut untuk meminum kopi bapak, bukan berarti beliau tidak ikut menikmatinya. Beliau tetap menikmatinya, di urutan kedua setelah bapak, untuk urutan selanjutnya, bisa aku, mas, atau mbak yang sesekali pengen ikut menikmati kopi bapak. Kalau diurut berdasarkan umur atau kedudukan dalam keluarga, pastilah aku yang pertama kali tidak setuju. Aku kan anak bungsu, masa' aku harus dapat jatah paling akhir terus? Tidak adil bukan? Setidaknya menurutku. Untuk urutan kedua, tidak selalu emak si, bisa juga aku atau mas jika kami sudah tidak sabar :)

Sekarang, kebiasaan itu sudah hampir tidak pernah ku lakukan. Sejak aku tinggal di kos, otomatis aku tak bisa lagi menikmati minum kopi bapak. Begitu juga mas yang sekarang kerja di Cibitung. Hanya emak yang masih sering punya kesempatan untuk tetap menikmatinya. Hampir setiap bulan aku pulang ke rumah, dan pada saat pulang itulah seharusnya aku bisa "memanfaatkan" waktu untukt minum kopi bapak. Tapi, entah kenapa, sekarang aku agak rikuh buat melakukannya. Merasa sudah dewasa atau kurang sopankah? Lagi-lagi, entahlah. Padahal dulu sampai saat aku sudah duduk di bangku SMK pun, aku masih suka melakukannya. Bukankah seumuran anak SMK bukan anak-anak lagi, ya walo memang belum pantas dibilang dewasa seutuhnya.

Setelah aku berhenti minum kopi bapak, aku jadi jarang, atau malah hampir tidak pernah minum kopi lagi. Apa itu disebabkan karena bukan kopi bapak yang ku minum? Atau mungkin karena faktor lain, semisal karena efek samping kopi, sekali lagi, entahlah. Sekarang aku jadi lebih suka minum air putih, teh, susu, jus, sesekali soft drink, dan minuman lain selain kopi. Seperti pagi ini. Saat matahari baru sedikit menampakkan sinarnya. Raga yang masih sungkan untuk diajak beraktifitas ini mungkin akan lebih baik jika disapa dengan segelas kopi. Ya, turun sejenak ke bawah, membeli kopi di warung dekat kos. Lalu, segera menyeduhnya. Hmm, rasanya nikmat. Tapi, malas sekali aku beranjak dari kamar ini. Minum segelas air putih saja rasanya sudah cukup, tak perlu bersusah payah turun dari lantai 3 kos ini. Ah, mungkin aku memang sudah terlanjur hanya suka dengan kopi bapak. Sebentar, ada yang terlewat. Kalau di rumah, bukan hanya sekedar segelas kopi bapak, tapi karena kopi itu dibikin oleh emak.