Karena semua apa dan siapa, dicipta bukan tanpa makna.

Monday, October 31, 2011

merindu

mungkin dengan merindu
aku bisa terbayang senyummu
mungkin dengan merindu
aku bisa terngiang suaramu
tapi,
takkan mungkin (hanya) dengan merindu
aku bisa memilikimu

kita?

karena tuk menjadi kita
tak selalu perlu aku
bisa jadi cukup dia
dengan kamu
gambar diambil dari sini

Wednesday, October 26, 2011

Dialog Hujan (Opening)



Setelah 'iseng' bikin video bagian akhir dari Dialog Hujan, tadi malam nyoba bikin video untuk bagian pembuka, bagian chatting antara 'Aku' dan 'Kamu'.

Awalnya kebingungan juga untuk membuatnya, terutama untuk menampilkan animasi typing saat chat. Setelah dapat saran dari beberapa teman, akhirnya untuk efek typing aku pakai fasilitas di salah satu situs text generator  yang langsung membuatkan efek typing dari tulisan yang kita masukkan dengan hasil format .gif. Karena gerakannya agak lambat, aku pakai Adobe Premiere CS5.5 untuk menambah kecepatan motion-nya.

Untuk pembuatan video-nya masih tetap pake Adobe After Effect seperti saat pembuatan video sebelumnya, tapi sekarang pakai Adobe After Effect CS5.5.

Sepertinya ada cara bikin animasi chatting yang lebih simple, tapi aku belum tahu.

Terimakasih buat Mas Tommy, Om Ahmed, dan teman-teman lain atas sarannya.
 
Video ini menggunakan format VCD .mpeg. Masih bisa terbaca jika ditampilkan full screen, cuma agak blur.

Tuesday, October 25, 2011

baca-tulis

aku tahu
kau tak hanya lihai membaca tulisanku
karena itu
aku berhati-hati
menulis namamu
dalam hati


gambar diambil dari sini

Thursday, October 20, 2011

Dialog Hujan (Teaser)


Sebagai penyaluran ide, penyaluran rasa iseng, penyaluran apa yang pekan lalu sempat diajarkan pada diklat desain multimedia (padahal di kelas aja beberapa kali kedapetan lagi tidur), ehm, juga.... yap, sebagai penyaluran kegalauan, akhirnya kemarin ngutak-atik bikin video ini. Video singkat dari potongan bagian akhir dari Dialog Hujan. Walau cuma berdurasi 40 detik, tapi karena masih terbatasnya kemampuan mengutak-atik video, maka cukup lama juga waktu yang ku habiskan untuk membuatnya.

Rencananya pengen mencoba (semacam) memvisualisasikan isi dari Dialog Hujan dari awal sampai akhir. Moga aja bisa selesai dan gak keburu malas.

Tuesday, October 11, 2011

(ha)dia(h)

saat hari kelahiranku, begitu banyak pemberi ucapan.
begitu banyak doa dihaturkan.


orang tuaku, meneloponku di waktu malam.
pengucap pertama, sungguh membahagiakan.


pagi, siang, sore kemudian, ucapan dan doa lain berdatangan.
dari saudara, sahabat, atau sekedar kenalan.


dan darimu,
apa yang ku harapkan?
hmm,
mungkin keterlaluan
tapi bagiku
sebuah penantian
darimu
itu hadiah spesial.

gambar diambil dari sini

n.b.
Sebenarnya tulisan ini sudah 'telat' jika dilihat dari kapan hari kelahiranku (21 September) atau penggunaan tema #15harimenulisdiblog -yaitu #hadiah- yang seharusnya di-posting hari #10 (9 Oktober 2011).
Tapi bagiku, tak ada kata terlambat untuk menyampaikan sebuah pesan, dan semoga aku tak terlambat dalam memaknai sebuah penantian.

BOSAN 2

Kita lihat,
siapa yang lebih dahulu bosan.
Kau yang diingatkan,
atau
Dia yang mengingatkan.

gambar diambil dari sini

Mantan?



Malam ini bayangannya begitu ampuh menerjang. Pikiranku dijajah habis-habisan. Kepongahanku tiga bulan meninggalkannya runtuh sekarang. Aku tak mampu melawan.

***

"Mau kemana?" tanyanya cemas.
Aku berhenti sejenak, menatapnya sesaat sebelum beranjak. Setidaknya sore ini aku masih berbaik hati, memberi kesempatan padanya untuk melihatku yang mungkin terakhir kali.

Keputusanku kali ini sudah bulat. Apa yang dia lakukan sudah kelewat. Tak ada maaf. Aku bukan anak kecil yang tak tahu apa yang harus kupilih. Sudah terlalu banyak kebebasanku ia ambil-alih.

Dengan bekal seadanya ku tinggalkan kota yang menorehkan banyak kenangan. Aku perlu memulai semuanya dari awal. Takkan ada lagi  kudengar ocehan atas nama perhatian. Takkan ada lagi perempuan yang mengekang masa depan.

"Kau sadar apa yang telah kau lakukan?" seorang sahabat tempat kuijin menginap terperanjak.
"Tentu saja." jawabku singkat.
"Tapi keputusanmu terlalu berlebihan. Bagaimanapun dia...."
"Ah, sudahlah, biarkan aku istirahat. Perjalanan 11 jam cukup membuatku penat." ucapku sebelum ku rebahkan tubuhku. Mulai kali ini perempuan itu kuanggap bukan siapa-siapaku.
"Sepertinya kau terlalu emosional. Aku rasa keputusanmu tak penuh pertimbangan." dia tak peduli bahwa mataku sudah mulai terpejam.
"Lihat saja. sampai kapan kau akan bertahan." lanjutnya meski tak terlalu ku hiraukan.

***

Kuambil hape yang tergeletak di meja pojok kamar. Kucari namanya di phonebook, tak ditemukan. Sial! Aku sudah menghapus apapun tentangnya. Dan parahnya, aku pun tak sempat menghafalnya.

Aku semakin limbung dengan keadaan. Wajah, sikap, tutur-kata, dan segala tentangnya seperti menyeruak untuk terus diingat. Otakku terus-menerus memaksa, tapi aku tak ada daya. Akun jejaring sosial pun tak ia punya. Sementara jarak, terlalu jauh untuk membuatku mampu segera menempuh. Aku semakin kebingungan.

Malam ini, penyesalan mendadak datang. Aku mulai merengek seperti anak kecil kehilangan mainan. Keputusanku saat itu memang diluar kendali. Mungkin karena keadaan sedang sangat tak berbaik hati. Banyak sekali rencanaku hancur dan acak-acakan. Dan kurasa dialah biang. Kekangan, kecemasan, ke-tak-setujuan, dan semua yang dia lakukan membuat langkahku tak begitu berjalan. Aku kalap dan tak terkendalikan. Seperti menjadi pelampiasan atas segala kegagalan. Kesalahan-kesalahan kecil sekian tahun pun teringat dan akhirnya kata itu terucap.
"Mulai saat ini, saya bukan siapa-siapa anda!"
Ya, entah dasar apa, sore itu aku bertingkah laiknya seorang anak paling berdosa. Bahkan firman Tuhan pun seperti terlupa. Dan ternyata kali ini aku tersadar, sampai kapanpun, aku tak bisa mengingkari. Ibu, tetaplah ibu sampai kapanpun itu.



gambar diambil dari sini dan sini

Sunday, October 9, 2011

liku-laku

bahkan yang tertulispun
tak mampu terjemah semua laku
-------------
tak peduli
dia,
kamu,
aku
-------------
atau
memang dirancang seperti itu?
-------------
agar sebuah labirin
tetaplah penuh liku


gambar diambil dari sini

Friday, October 7, 2011

Lu(b)ang di Hati

seperti ada lu(b)ang di hati.
mungkin ada yang beranjak pergi,
atau
sebuah bilik terbentuk rapi,
siap diisi namun tak jua tertemui.

gambar diambil dari sini

Thursday, October 6, 2011

(pen)dadar(an)


Lagi-lagi rasanya tak seperti yang ku inginkan. Terlalu hambar. Aku menatap matanya, berusaha tersenyum, kaku, dia segera membalas, lalu membisu. Sudah sekian kali adegan tersebut berulang, pada beberapa perempuan, dan berakhir sama, kekecewaan. Rasanya memang begitu sulit mendapatkan perempuan pilihan. Pembuat telur dadar 'spesial'.

***

Aku sudah terbiasa menikmati sarapan dengan sepiring nasi putih dan sepotong telur dadar. Selalu buatan bunda, sudah 23 tahun lamanya. Sesekali diselingi lauk lain, biar tak bosan. Tapi, tetap saja telur dadar bunda yang jadi jagoan.

Bagi orang lain bisa saja telur dadar itu biasa, bahkan ada yang tak suka. Tapi bagiku, telur dadar spesial buatan bunda yang paling enak dan aku suka. Sejak umur 3 tahun aku sudah terbiasa dengan rasanya. maka pantas saja jika aku menganggap rasanya paling istimewa. Bagi anak dimanapun, masakan bunda memang masakan idola.

Racikan telur dadar bunda seperti telur dadar lainnya. Dengan irisan daun bawang, wortel, sedikit cabai, dan bumbu seperi biasa, hampir tak ada beda. Hanya saja, bunda sangat anti dengan yang namanya penyedap rasa.

Setahun lalu, bunda telah tiada. Aku si anak tunggal yang tinggal berdua dengannya, tentu sangat kehilangan, termasuk kehilangan sarapan telur dadar andalan. Sekian bulan kuberangkat kerja tanpa didahului dengan sarapan kesukaan.

"Perempuan pendampingku nanti harus bisa membuat telur dadar yang aku suka." Suatu hari aku berjanji dalam hati.
"Tak harus seenak buatan bunda, cukup mendekati saja tak apa, tapi syaratnya sama, tanpa penyedap rasa."

***

Aku gagal menjalin hubungan berulang kali. Ada yang bertahan 1-2 bulan, sekian minggu, atau bahkan dalam hitungan hari. Awalnya aku terlalu frontal, segera meminta kekasihku untuk membuat sarapan telur dadar. Itu dilakukan saat aku berkunjung ke rumahnya sebelum kami berangkat bekerja. Beraneka rupa reaksi. Ada yang cukup bisa dan rasanya cukup enak, tapi ada pula yang kesulitan karena memang tak terbiasa memasak. Bahkan ada yang langsung meminta putus keesokan hari. Dari semua itu tetap tak ada yang mendekati rasa yang ku inginkan. Sebagian enak dirasakan, tapi berbeda dengan definisi enak yang ku harapkan. Dan akhirnya hubungan kami tak dilanjutkan. Bisa aku yang memutuskan, atau mereka yang merasa tak tahan dengan tingkah 'aneh'ku, meminta telur dadar.

***

"Dia berbeda." aku membatin. Masih ada sejumput ragu, tapi kucoba yakin. Ada rasa entah apa yang mendorongku untuk percaya, dia pasti bisa.

Aku sudah duduk menanti dia kelar. Dia tersenyum manis, membawa sepiring telur dadar. "Hmm, aromanya menggoda." aku berkata dalam hati.
Sepiring nasi putih dan telur dadar sudah disiapkan. Kupotong sedikit di ujung, ku cicipi kemudian. Hening sejenak.
"Sayang." Aku menatap matanya. "Telur dadar bikinanmu enak.", ucapku tanpa perlu berpura-pura.
"Jujur, ini pertama kalinya aku suka makan telur dadar selain buatan bunda.", aku menambahkan.
Dia tersenyum manis, tanpa sepatah tanggapan.
"Kalau begini, tiap hari pun aku siap menikmati sepiring nasi dan telur dadar buatanmu." kelakarku memancing tawa.
Masih belum ada tanggapan, terdiam seperti sebelumnya.
"Sayang." lagi ku ucapkan. "Pagi ini kamu membuat aku yakin bahwa kamu perempuan pilihan. Kamu yang aku harapkan."
Sunyi.
Masih terdiam.
"Ehm, kata-kataku ada yang salah?" mendadak aku tak enak.
Dia masih tersenyum manis tak berkesudahan. Kali ini dilanjutkan dengan menatapku, dalam.
"Makasih, sayang.", akhirnya katanya keluar. "Ucapmu barusan bagi perempuan lain mungkin begitu membahagiakan. Tapi, pagi ini, kamu membuat aku semakin yakin bahwa kamu bukan lelaki yang ku harapkan. Sebenarnya bukan kali ini aku merasakan, sejak beberapa hari kita menjalin hubungan mulai kurasa demikian, dan sepertinya memang hubungan ini tak akan baik jika dilanjutkan."
Dia hendak melangkah pergi. Sesaat aku masih tercengang, seperti tak yakin dengan apa yang dia ucapkan.
"Kenapa sayang? Oh, atau kamu gak suka telur dadar?"
Langkahnya dihentikan, dia menolehku lalu mendekat, mengambil dua potong telur dadar lalu menyantap, tersenyum, tanpa ada raut muak.
"Sayang......" Kataku tak berkelanjutan. Dia sudah terlanjur keluar

***

Seharian aku masih tak mengerti atas apa yang dia lakukan. Menurutku selama tiga bulan hubungan kami ini, tak ada sebuah permasalahan pun yang datang. Bahkan aku merasa kami sudah begitu nyaman. Selain bercerita tentang telur dadar, aku sudah bercerita begitu banyak hal. Masa laluku, masa kini, juga rencanaku masa depan. Dan dia tetap tersenyum mendengarkan.

Kuputar otakku, kucoba menyimpulkan, tak terpecahkan. Berkali ku hubungi handphone-nya, tak ada jawaban.
"Oh ya." Aku tersenyum, seolah menemukan jalan keluar. "Sekarang kuajak saja dia makan malam di tempat kesukaannya dan kuminta maaf jika ada hal-hal yang tak dia suka."
Segera kuberdiri, bersiap dan langsung bergegas akan pergi.
"Eh." tiba-tiba langkahku tertahan.
"Makanan kesukaannya apa ya?"


gambar diambil dari sini dan sini

Tuesday, October 4, 2011

Di(a )mana?


"Dimana?"
"Dimana?!"
"Dia mana?!"
Kamu berteriak kencang seolah khawatir tak ada seorangpun yang akan mendengar. Sudah berulangkali kucoba tenangkan, tapi gagal, kamu makin berpolah liar.

***

"Tuhan hilang." katamu seminggu lalu.
Aku terhenyak, kaget mendengar apa yang kauucap.
"Aku yakin, Tuhan telah hilang." Kamu kembali berujar, seperti mampu membaca mimikku yang masih tercengang.
"Bodoh kalau selama ini orang menganggap Tuhan ada dan begitu dekat. Mana? Di saat hamba-Nya begitu membutuhkan, Dia malah hilang dan tak menunjukkan sedikitpun kemahapengasih dan kemahapenyayangan."
Aku mulai yakin bahwa aku tak lagi salah mendengar. Kata-kata itu benar kamu ucapkan.
Perlahan dan penuh kehati-hatian kucoba tuk menenangkan. Aku tahu, kondisimu saat ini memang sangat 'mendukung' untuk terus memarahi Tuhan. Dia seperti tak bosan-bosan memberimu ujian, seolah tak ada hamba lain yang dapat Dia beri cobaan. Setelah calon istrimu secara sepihak membatalkan pertunangan dan merusak rencana pernikahan 2 bulan depan, rekan kerjamu tanpa rasa berdosa mencurangi kontrak perjanjian dan membuat usahamu gulung-tikar. Belum cukup demikian. Kedua orang tuamu yang sedang begitu senang karena adik satu-satumu lulus kuliah di kota seberang, saat dalam perjalanan usai wisuda, mobil mereka tertabrak dan tak seorang nyawapun terselamatkan, tentu saja ada adikmu dan kedua orang tuamu disana.

***
"Sabar, kawan. Semua pasti ada hikmahnya. Bukankah Tuhan sudah berfirman bahwa bersama kesulitan ada kemudahan?"
Seorang kawanmu coba menenangkan. Kamu menatapnya sebentar lalu kembali melanjutkan 'kegilaan'. Berlari kesana-kemari sambil terus memaki. Kawan lain dan sanak-familimu pun telah mencoba, tapi tetap tak berdampak apa. Kali ini kamu memang sangat 'bebal', tidak ada kata satupun yang mampu melunakkan.

***
Empat puluh hari sudah setelah kematian orang tua dan adikmu. Sanak famili dan kawan-kawanmu mulai ijin untuk beraktifitas kembali. Rumahmu mulai sepi. Dan aku, masih mencoba menemani meski pekerjaan telah menanti.

Aku kembali mengajakmu bicara. Barangkali kali ini emosimu sudah lebih terjaga. Kata lembut kukatakan, tak berhasil, sedikit nada tinggi mulai keluar, tetap nihil. Kamu masih terhanyut dalam emosimu.
"Terserah kalau kamu mau terus-terusan seperti itu. Aku sudah bosan!" Entah kenapa aku mulai tak sabar. Sungguh sebenarnya aku sebagai sahabat karibmu tak tega berkata kasar, tapi menurutku kali ini kamu sudah keterlaluan.
"Aku sudah menyerah untuk terus mengingatkanmu atas sumpah-serapahmu. Terserah kamu akan terus menyalahkan Tuhan. Terserah kamu anggap Dia telah hilang. Terserah. Memang kali ini Tuhan telah begitu banyak memberimu berbagai cobaan. Tapi seharusnya kamu bisa lihat, telah begitu banyak anugerah Tuhan yang telah Dia berikan selain cobaan yang Dia berikan. Dan di depan, tak menutup kemungkinan keberkahan akan terus Dia berikan."
"Kamu ngomong gitu karena kamu tak merasakan. Coba kalau kamu..."
"TERSERAH!" Aku pergi begitu saja memotong kata-katanya. Kata-katanya masih banyak yang menanti diucap, tapi seketika berhenti mendadak.

***

Hari ini kamu begitu tenang, diam. Tak ada lagi umpatan. Tubuhmu terbujur kaku dalam balutan kain kafan. Setelah kepergianku, kamu masih berdiam diri di rumah itu sendirian, terus meratapi semua kejadian. Mungkin sekian hari itu kamu tak sedikitpun makan, tubuhmu melemah, ditambah pikiranmu yang sedang carut-marut parah, akhirnya kau kalah, menyerah.

Setelah kamu menganggap Tuhan hilang, kini kamupun hilang, pergi melanjutkan tahap kehidupan. Tak tahu kemana. Mungkin sekarang kamu sedang berkunjung ke Tuhan. Mungkin kali ini kamu sedang bercengkerama dengan Tuhan. Mungkin saat ini Dia sedang memberi jawaban atas semua pertanyaan. Mungkin detik ini kamu tahu bahwa Dia tidak hilang . Yah, mungkin begitu, kawan.



gambar diambil dari sini dan sini

Saturday, October 1, 2011

bahagia

bahkan hal sepele pun bisa begitu membahagiakan...
...jika kamu yang melakukan.


bahagia itu sederhana,
kamu itu istimewa.

gambar diambil dari sini

aku ma(l)u kau tahu



Terlalu banyak jika harus kuhitung berapa malam minggu ku habiskan sendirian di kamar. Melelahkan tentunya, baik saat menghitung jumlahnya ataupun saat merangkum seluruh rasa yang terlunta. Seringkali aku pergi entah kemana dengan teman yang bernasib sama. Ada suatu kelegaan dan sebuah kenyamanan jika demikian. Setidaknya, aku tak jomblo sendirian. Atau kalaupun tak, kupilih membuka laptop atau membaca buku-buku yang tersusun rapi di rak. Cukup mendamaikan, sebagai sebuah pengalihan kegalauan.
"Tingtung." message notification terdengar. Kuraih hape ada sebuah SMS terpampang. Tentu saja bukan sebuah SMS sayang ku dapatkan, yang ada hanya sebuah SMS iklan. Menyebalkan.

***

Kuketik nama dan akunmu di kolom "Search" pada facebook dan twitter. Melihat, membaca, dan menyimak aktifitasmu cukup menyenangkan. Memberi komen, meng-klik tombol "Like" atau me-retweet kicauanmu dan berharap kau tahu itu sebuah potongan perhatian. Tapi sepertinya tak akan terlihat beda. Sudah beberapa temanmu melakukan hal yang sama, pada status terbarumu, beberapa jam lalu, status tentang kegiatan pengisi akhir pekan dan status tentang hapemu yang masih dalam perbaikan.

Aku alihkan perhatian ke twitter-mu, berharap ada kicauan yang bisa ku-retweet sekarang. Kubaca beberapa, hanya ada beberapa mention dan obrolan dengan temanmu yang tak kutahu siapa dan sedang membahas apa, itupun sudah 2 hari lalu. "Hufh." aku mendengus kesal.

***

"Begitu banyak yang bisa kau lakukan, tapi kau buat dirimu terkungkung dalam keraguan. Membuat kau terus terbawa arus kegalauan." Mulai terjadi percakapan dalam pikiran. Ya, saat galau memang seringkali ku demikian.
"Tapi aku ragu. Aku malu." Satu sisiku mencari pembelaan.
"Sudah terlalu lama kau terus membisu hanya karena ragu. Sudah terlalu lama kau tahan rindu hanya karena malu. Sudah keterlaluan! Kau tetap ingin begitu? Memalukan!" Sisi yang lain mulai kesal.
"Tapi kan..." Kucoba lagi menyangkal.
"Bagaimana kau bisa tahu perasaannya sementara kau tak pernah menanyakannya. Bagaimana dia tahu kau perhatian sementara sedikitpun tak pernah kau tunjukkan? Bagaimana?!"
Hening. Tak ada lagi "obrolan". Sepertinya aku memang sudah terlalu lama diam. Sudah terlalu banyak rasa tak diperjuangkan.

***

Kubuka lagi facebook-mu menatap lagi layar meski entah kemana pikiran. Jariku menekan tombol "f5" pada keyboard, memuat ulang.
Sebuah status baru nampak, permintaan bantuan yang tersamarkan dan tak banyak penjelasan. Aku tak tahu apa yang sedang kaurasa, ada galau disana meski tak langsung kau kata.
"Aku harus menghubunginya sekarang, tak cukup jika kutanya dalam komen meski panjang."
Kucari namamu di phonebook hape, ketemu, kutekan tombol "Call", tapi langsung ku urungkan.
Ragu, lagi-lagi ia mengganggu. Sekian puluh detik ku habiskan untuk meyakinkan. Lakukan atau biarkan.
Ah, terlalu lama, biarlah apa nanti tanggapannya, biarlah nanti terbata-bata berkata, yang penting malam ini aku harus berani mengatakan dan memberi bantuan yang ia butuhkan.
Menekan tombol "Call" telah ku lakukan. Kutunggu beberapa saat menunggu kau mengangkat.
"Deg." Nafasku tertahan saat sebuah suara mulai terdengar.
"Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan."
Sial! Sumpah serapah ku ucapkan. Hapenya kan masih dalam perbaikan!
 

gambar diambil dari sini