Malam ini bayangannya begitu ampuh menerjang. Pikiranku dijajah habis-habisan. Kepongahanku tiga bulan meninggalkannya runtuh sekarang. Aku tak mampu melawan.
***
"Mau kemana?" tanyanya cemas.
Aku berhenti sejenak, menatapnya sesaat sebelum beranjak. Setidaknya sore ini aku masih berbaik hati, memberi kesempatan padanya untuk melihatku yang mungkin terakhir kali.
Keputusanku kali ini sudah bulat. Apa yang dia lakukan sudah kelewat. Tak ada maaf. Aku bukan anak kecil yang tak tahu apa yang harus kupilih. Sudah terlalu banyak kebebasanku ia ambil-alih.
Dengan bekal seadanya ku tinggalkan kota yang menorehkan banyak kenangan. Aku perlu memulai semuanya dari awal. Takkan ada lagi kudengar ocehan atas nama perhatian. Takkan ada lagi perempuan yang mengekang masa depan.
"Kau sadar apa yang telah kau lakukan?" seorang sahabat tempat kuijin menginap terperanjak.
"Tentu saja." jawabku singkat.
"Tapi keputusanmu terlalu berlebihan. Bagaimanapun dia...."
"Ah, sudahlah, biarkan aku istirahat. Perjalanan 11 jam cukup membuatku penat." ucapku sebelum ku rebahkan tubuhku. Mulai kali ini perempuan itu kuanggap bukan siapa-siapaku.
"Sepertinya kau terlalu emosional. Aku rasa keputusanmu tak penuh pertimbangan." dia tak peduli bahwa mataku sudah mulai terpejam.
"Lihat saja. sampai kapan kau akan bertahan." lanjutnya meski tak terlalu ku hiraukan.
***
Kuambil hape yang tergeletak di meja pojok kamar. Kucari namanya di phonebook, tak ditemukan. Sial! Aku sudah menghapus apapun tentangnya. Dan parahnya, aku pun tak sempat menghafalnya.
Aku semakin limbung dengan keadaan. Wajah, sikap, tutur-kata, dan segala tentangnya seperti menyeruak untuk terus diingat. Otakku terus-menerus memaksa, tapi aku tak ada daya. Akun jejaring sosial pun tak ia punya. Sementara jarak, terlalu jauh untuk membuatku mampu segera menempuh. Aku semakin kebingungan.
Malam ini, penyesalan mendadak datang. Aku mulai merengek seperti anak kecil kehilangan mainan. Keputusanku saat itu memang diluar kendali. Mungkin karena keadaan sedang sangat tak berbaik hati. Banyak sekali rencanaku hancur dan acak-acakan. Dan kurasa dialah biang. Kekangan, kecemasan, ke-tak-setujuan, dan semua yang dia lakukan membuat langkahku tak begitu berjalan. Aku kalap dan tak terkendalikan. Seperti menjadi pelampiasan atas segala kegagalan. Kesalahan-kesalahan kecil sekian tahun pun teringat dan akhirnya kata itu terucap.
"Mulai saat ini, saya bukan siapa-siapa anda!"
Ya, entah dasar apa, sore itu aku bertingkah laiknya seorang anak paling berdosa. Bahkan firman Tuhan pun seperti terlupa. Dan ternyata kali ini aku tersadar, sampai kapanpun, aku tak bisa mengingkari. Ibu, tetaplah ibu sampai kapanpun itu.
No comments:
Post a Comment