Karena semua apa dan siapa, dicipta bukan tanpa makna.

Thursday, October 6, 2011

(pen)dadar(an)


Lagi-lagi rasanya tak seperti yang ku inginkan. Terlalu hambar. Aku menatap matanya, berusaha tersenyum, kaku, dia segera membalas, lalu membisu. Sudah sekian kali adegan tersebut berulang, pada beberapa perempuan, dan berakhir sama, kekecewaan. Rasanya memang begitu sulit mendapatkan perempuan pilihan. Pembuat telur dadar 'spesial'.

***

Aku sudah terbiasa menikmati sarapan dengan sepiring nasi putih dan sepotong telur dadar. Selalu buatan bunda, sudah 23 tahun lamanya. Sesekali diselingi lauk lain, biar tak bosan. Tapi, tetap saja telur dadar bunda yang jadi jagoan.

Bagi orang lain bisa saja telur dadar itu biasa, bahkan ada yang tak suka. Tapi bagiku, telur dadar spesial buatan bunda yang paling enak dan aku suka. Sejak umur 3 tahun aku sudah terbiasa dengan rasanya. maka pantas saja jika aku menganggap rasanya paling istimewa. Bagi anak dimanapun, masakan bunda memang masakan idola.

Racikan telur dadar bunda seperti telur dadar lainnya. Dengan irisan daun bawang, wortel, sedikit cabai, dan bumbu seperi biasa, hampir tak ada beda. Hanya saja, bunda sangat anti dengan yang namanya penyedap rasa.

Setahun lalu, bunda telah tiada. Aku si anak tunggal yang tinggal berdua dengannya, tentu sangat kehilangan, termasuk kehilangan sarapan telur dadar andalan. Sekian bulan kuberangkat kerja tanpa didahului dengan sarapan kesukaan.

"Perempuan pendampingku nanti harus bisa membuat telur dadar yang aku suka." Suatu hari aku berjanji dalam hati.
"Tak harus seenak buatan bunda, cukup mendekati saja tak apa, tapi syaratnya sama, tanpa penyedap rasa."

***

Aku gagal menjalin hubungan berulang kali. Ada yang bertahan 1-2 bulan, sekian minggu, atau bahkan dalam hitungan hari. Awalnya aku terlalu frontal, segera meminta kekasihku untuk membuat sarapan telur dadar. Itu dilakukan saat aku berkunjung ke rumahnya sebelum kami berangkat bekerja. Beraneka rupa reaksi. Ada yang cukup bisa dan rasanya cukup enak, tapi ada pula yang kesulitan karena memang tak terbiasa memasak. Bahkan ada yang langsung meminta putus keesokan hari. Dari semua itu tetap tak ada yang mendekati rasa yang ku inginkan. Sebagian enak dirasakan, tapi berbeda dengan definisi enak yang ku harapkan. Dan akhirnya hubungan kami tak dilanjutkan. Bisa aku yang memutuskan, atau mereka yang merasa tak tahan dengan tingkah 'aneh'ku, meminta telur dadar.

***

"Dia berbeda." aku membatin. Masih ada sejumput ragu, tapi kucoba yakin. Ada rasa entah apa yang mendorongku untuk percaya, dia pasti bisa.

Aku sudah duduk menanti dia kelar. Dia tersenyum manis, membawa sepiring telur dadar. "Hmm, aromanya menggoda." aku berkata dalam hati.
Sepiring nasi putih dan telur dadar sudah disiapkan. Kupotong sedikit di ujung, ku cicipi kemudian. Hening sejenak.
"Sayang." Aku menatap matanya. "Telur dadar bikinanmu enak.", ucapku tanpa perlu berpura-pura.
"Jujur, ini pertama kalinya aku suka makan telur dadar selain buatan bunda.", aku menambahkan.
Dia tersenyum manis, tanpa sepatah tanggapan.
"Kalau begini, tiap hari pun aku siap menikmati sepiring nasi dan telur dadar buatanmu." kelakarku memancing tawa.
Masih belum ada tanggapan, terdiam seperti sebelumnya.
"Sayang." lagi ku ucapkan. "Pagi ini kamu membuat aku yakin bahwa kamu perempuan pilihan. Kamu yang aku harapkan."
Sunyi.
Masih terdiam.
"Ehm, kata-kataku ada yang salah?" mendadak aku tak enak.
Dia masih tersenyum manis tak berkesudahan. Kali ini dilanjutkan dengan menatapku, dalam.
"Makasih, sayang.", akhirnya katanya keluar. "Ucapmu barusan bagi perempuan lain mungkin begitu membahagiakan. Tapi, pagi ini, kamu membuat aku semakin yakin bahwa kamu bukan lelaki yang ku harapkan. Sebenarnya bukan kali ini aku merasakan, sejak beberapa hari kita menjalin hubungan mulai kurasa demikian, dan sepertinya memang hubungan ini tak akan baik jika dilanjutkan."
Dia hendak melangkah pergi. Sesaat aku masih tercengang, seperti tak yakin dengan apa yang dia ucapkan.
"Kenapa sayang? Oh, atau kamu gak suka telur dadar?"
Langkahnya dihentikan, dia menolehku lalu mendekat, mengambil dua potong telur dadar lalu menyantap, tersenyum, tanpa ada raut muak.
"Sayang......" Kataku tak berkelanjutan. Dia sudah terlanjur keluar

***

Seharian aku masih tak mengerti atas apa yang dia lakukan. Menurutku selama tiga bulan hubungan kami ini, tak ada sebuah permasalahan pun yang datang. Bahkan aku merasa kami sudah begitu nyaman. Selain bercerita tentang telur dadar, aku sudah bercerita begitu banyak hal. Masa laluku, masa kini, juga rencanaku masa depan. Dan dia tetap tersenyum mendengarkan.

Kuputar otakku, kucoba menyimpulkan, tak terpecahkan. Berkali ku hubungi handphone-nya, tak ada jawaban.
"Oh ya." Aku tersenyum, seolah menemukan jalan keluar. "Sekarang kuajak saja dia makan malam di tempat kesukaannya dan kuminta maaf jika ada hal-hal yang tak dia suka."
Segera kuberdiri, bersiap dan langsung bergegas akan pergi.
"Eh." tiba-tiba langkahku tertahan.
"Makanan kesukaannya apa ya?"


gambar diambil dari sini dan sini

No comments:

Post a Comment