Karena semua apa dan siapa, dicipta bukan tanpa makna.

Wednesday, November 24, 2010

"Dialog" Dini Hari 2




Masalah lagi dan lagi, selalu saja ada dan tak pernah berhenti, bahkan tak peduli masalah lain masih menghampiri, yang lain ikut menyusuli.

Ku hidupkan laptop seperti malam biasanya, di dalam kamar kos ini, yang sudah dua tahun lebih ku tempati.  Berselancar di dunia maya cukup menghibur saat semangatku kendur dan masalah membentur. Berinternetan menjadi salah satu hiburan saat menjenuhkan. Mungkin ini hiburan, atau salah satu pelarian dari masalah yang menghadang. Ah, lupakan masalah, cukup, tak perlu lagi ku pikirkan, sudah cukup banyak yang berhasil menambahku beban. Seperti jurus ampuh, mampu membuatku lumpuh dan mengeluh. Mengeluh? Payah, entah sudah berapa kali aku mengeluh. Seorang lelaki yang nantinya menjadi pemimpin keluarga, seharusnya teguh, malah begitu rapuh. Kasihan sekali perempuan yang mendapatkannya.

Ku mulai buka beberapa situs andalan, jejaring sosial, forum, serta situs-situs lain yang ku inginkan. Kecepatan koneksi internet yang sering lelet tak ku dapatkan, bagus juga untuk mengunduh lagu dan video kesukaan. Sebenarnya mata sudah mengiba, menuntut haknya, tapi tak ku pedulikan dan ku paksa dia untuk bertahan. Kalau mata ini bisa berkata, pantasnya dia akan marah dan memaki karena haknya tak terpenuhi. Ya, nanti ada saatnya dimana dia berkata, memberi kesaksian atas apa yang ia saksikan. Tapi itu nanti, bukan di dunia ini, kapan pastinya ku tak tau, sekarang, kau turuti saja mauku.

Hai, apa kabar? Lagi ngapain? Cukup lama juga ya kita gak bertegur sapa.” terdengar sebuah suara yang tak asing nadanya.

Ku tengok sekitar, tak ada sosok ku temukan. Yeah, dia lagi.

Alhamdulillah, kabarku cukup baik...” jawabku dengan nada menggantung dan enggan, lalu ku lanjutkan,”setidaknya tadi, sebelum kau sapa.

Hahaha, depannya pakai pujian terhadap Tuhan kok belakangnya umpatan.” Dia tertawa dengan ciri khasnya.”Bukannya seharusnya kamu senang bisa ngobrol lagi denganku? Lama tak bertemu, semestinya membuatmu rindu.”

Aku menganga, muak mendengar kenarsisannya  “Rindu? Sama kamu? Tak salah? Tak semuanya layak dirindukan, kawan. Tak semudah itu. Kalau semua layak dirindukan, apa istimewanya sebuah rindu?

Ya, gak semuanya lah. Tapi aku kan termasuk yang layak dirindukan, aku kan kamu. Masa’ kamu gak rindu ama diri kamu sendiri, atau lebih tepatnya, rindu dengan SEJATINYA  kamu.”, terdengar suaranya cukup ditekan saat mengucapkan kata sejatinya.

Maksudmu?” timpalku.

Sebenarnya tak ku harap penjelasan dari kalimat itu. Sudah cukup jelas artinya, dia anggap aku yang sekarang bukan aku yang sebenarnya, hanya sebuah topeng, kepalsuan.

Ya, terserah kamu bilang sekarang aku bukan sejatinya aku, bukan seperti aku yang dulu, tak sesemangat dulu, atau apalah katamu, memang inilah adanya aku di masa kini, aku tak memintamu untuk suka atau melarangmu untuk membenci.

Huff.” serupa suara hembusan nafas ku dengar, mungkin dia memayahkan atas apa yang baru ku ucapkan. “Kebanyakan kata-kata yang ku dengar darimu berisi umpatan, keluhan, kekecewaan, ketidakberdayaan, sungguh seorang lelaki yang mengenaskan.

Bukan sesuatu yang mengejutkan apa yang baru saja ku dengar, inti katanya sudah ku duga sebelumnya, “Ya, ini lah aku, sudah takdir Tuhan kali aku seperti ini.

Lagi, serupa suara hembusan nafas kepayahannya terdengar, kali ini lebih kuat, lebih berat.

Tuhan menciptakan kemampuan dan kehendak pada kita, juga memberi kita kewenangan untuk bertindak. Memang selalu ada batasan yang tak mampu kita lawan, tapi bukan berarti kita harus berdiam dengan ketidakberdayaan. Selalu ada kesempatan kalau kita mau berjuang.

Selalu saja kata indah terucap saat memberi nasehat. Memangnya gampang mengaplikasikan sebuah ucapan.

Iya, kau benar, tak cukup dengan berdiam. Tapi sebagai manusia kita butuh dukungan karena seringkali rencana tak sesuai dengan nyata. Saat-saat seperti ini, saat aku butuh penyemangat, malah tak ku dapat. Saat kita jatuh, kita butuh penopang untuk bisa berdiri juga seseorang yang mau mengulurkan tangan agar kita tak kewalahan.” aku mengeluh, rasanya cukup banyak masalah dan musuh, tapi, ku bingung untuk mengurainya, menjelaskannya.

Saat kau jatuh, tenaga mu tak semuanya runtuh, masih ada yang tersisa walau tak seberapa. Seharusnya, dengan sisa tenagamu, tanpa uluran tangan pun tubuhmu masih bisa kau tegakkan. Tak harus segera bangkit saat kau rubuh, mungkin butuh waktu untuk memulihkan semangatmu. Saat sudah cukup kuat, saat itulah kau kembali tegak dan melanjutkan jalanmu dengan siap.

Dasar manusia sok bijak. Coba saja saat dia jatuh, apa dia bisa menerapkan kata-katanya. Sayang, aku tak mampu melihat wujudnya, kalu bisa dan tiba saatnya dia terpuruk, pasti semangatnya pun ikut ambruk, dan rangkai kata indahnya pun lapuk. Aku curiga, orang semacam dia cuma pandai berkata bijak, tapi tak piawai dalam bertindak.

Hehehe, tak usah terlalu mempermasalahkan kata-kataku.” ucapnya menghentikan caci dalam diri. Jangan-jangan dia mampu membaca isi hati, ah, mana ku peduli. ”Aku pun tak menjamin tak akan pernah mengeluh, bisa jadi ku tak mampu bangkit saat terjatuh.Tapi tak ada salahnya ku menasehatimu, selagi ku mampu. Juga, dari (si)apapun kau dapat sebuah pesan kebaikan, tak usah terlalu dipusingkan, tak perlu pula berprasangka apakah dia melakukannya atau sebatas kata. Misalpun ternyata dia hanya perangkai kata ulung, kau sudah beruntung, karena kau sudah memperoleh kemanfaatan dari sebuah ucapan, meski kau belum dapatkan teladan.

Kata-katanya barusan membuatku harus mengiyakan. Ya, tak perlu ku umpat karena memang sudah tepat.

Jadi, tak masalah kan kalau aku tegur saat semangatmu kendur?” tanyaku.

Tak masalah, kawan. Bukannya bagus kalau saling mengingatkan. Apalagi jika mengingatkan dalam kebaikan.” jawabnya.

Tapi, tak enak juga kalau aku mengingatkan orang yang lebih baik dariku misalnya.” aku memang merasa sungkan untuk mengingatkan.

Hehehe.” kembali dia tertawa, tapi bukan dengan nada menghina. “Lebih baik darimu? Menurutmu kan? Bukan menurut Tuhan? Apa kita harus menjadi manusia tanpa dosa dan kesalahan agar diperbolehkan mengingatkan dalam kebaikan?

Pertanyaan retoris, tapi tetap ku jawab. “Tak mungkin lah kita tanpa dosa dan salah.

Berarti tak ada alasan untuk tak mengingatkan, bukan?

Ya.” jawabku singkat.

Mau mengingatkan, kan beberapa pekan ini sedang banyak-banyaknya undangan pernikahan, ada yang seumuranmu juga, kamu tak ingin segera berdamping dengan perempuan idaman seperti mereka?

Hah? Mengingatkan? Tentang pernikahan...lagi -seperti sebelumnya-. “Kadang aku heran, kenapa setiap perbincangan selalu mengajukan pertanyaan masalah nikah, nikah, dan nikah. Entah membahas apa, ada saja sesi tanya jawab tentang pernikahan.” tak tau kenapa kata yang keluar dari mulutku sesinis itu.

Bukannya setiap manusia secara naluri pasti ingin dipersatukan dengan pasangan hidupnya -dalam ikatan yang sah-? Justru semakin sering orang menanyakan, akan semakin memotivasi kita untuk menyegarakan. Kamu sudah memiliki penghasilan, dan bukan tak mungkin sebenarnya sudah ada seorang yang menantikan untuk kau pinang.” dia berujar.

Aku diam sesaat, memikirkan kata yang tepat, “Memang seharusnya memotivasi, tapi kalau terlalu sering, bisa-bisa bukan menjadi motivasi, malah sebuah intimidasi.” sukses aku berkata sinis...lagi, ah setan apa yang sedang merasuki. Aku segera berucap kembali, semoga bisa memperbaiki, “Maksudku, tak baik juga terlalu sering menanyakan, karena bisa jadi yang ditanyakan pun sudah memikirkan dan diapun sedang mulai mempersiapkan. Untuk sesekali, mungkin tak masalah kau ingatkan, tapi kalau berkali-kali, bisa tak mengenakkan.

Sesekali? Hmm, ya ya ya.

Tampaknya dia tak mau menambah lagi kata sinis yang terucap dari bibirku. Dia menyetujui walau belum sepenuh hati.

Mau mengingatkan lagi.

Kupingku langsung bersiap-siap begitu mendengar kata mengingatkan lagi darinya. Setelah pernikahan, akan mengingatkan apa lagi dia.

Itu, videonya sudah selesai diunduh tuh."

Mendengar kata-katanya spontan membuatku menengok kembali monitor laptop di depanku yang beberapa saat ku acuhkan -karena asiknya percakapan-. Bagus, aku lupa me-minimize tampilan Internet Download Manager-ku, dan dia sukses membaca nama file yang ku unduh. Untunglah tadi aku sudah menutup Mozilla-ku. Tapi tetap saja katanya barusan membuatku malu dan sungkan. Tak butuh waktu lama laptop pun ku matikan.

Sudah mau tidur, kawan? Kelihatannya kau belum mengantuk. Apa tersinggung gara-gara ku ingatkan tentang video unduhanmu?

Awalnya tak ingin ku gubris tanyanya, tapi ku paksakan diri tuk berkata.

Iya, aku mau istirahat dulu.

Ku hampiri kasur yang hanya berjarak sekitar 1 meter sebelah kanan dari kursi yang tadi ku gunakan. Ku pejamkan mata. Sempat terpikirkan kalau dia akan mengganggu karena ku tinggal saja begitu. Ternyata tidak, dia diam, mungkin sudah meninggalkan.

---

Sudah 15 menit lebih ku bolak-balikkan posisi tidurku, miring ke kiri, telentang, miring ke kanan, dan terus diulang berkali-kali, tapi gagal. Mataku terpejam, tapi aku masih tersadar. Sebenarnya aku memang belum mengantuk dan masih ingin berkutat dengan laptopku untuk berselancar sembari menikmati hasil video unduhan, tapi dia keburu menegurku, melihat video itu, benar-benar membuatku malu.

Hahahaha,” tawanya tiba-tiba terdengar lagi.

Kamu sebenarnya belum ingin tidur, kan? Kamu cuma ingin “lari” dari pembicaraan untuk menutup rasa malu dan sungkan yang kau rasakan. Tak usah malu, aku sudah tau semua tentangmu, baik dan burukmu. Apa perlu aku sebutkan hal-hal yang lebih parah dari itu? Bisa-bisa kau terkaget saat ku kembali menyebutnya, karena kejelekanmu mudah kau lupakan. Mungkin kau anggap memorimu terlalu sayang jika kau gunakan untuk mengingat-ingat keburukan.

Mataku terbuka, tapi mulut tak berucap, ingin aku mengumpat, tapi ku pilih menunjukkan muka muak.

Ya sudah, kalau kau kurang berkenan, aku akan diam. Tapi kalau boleh ku katakan, kalau memang ingin tidur, tidurlah untuk mengumpulkan energi untuk esok hari, kalau masih ingin terjaga, bangun dan beraktifitaslah untuk menghasilkan sesuatu yang berarti. Kalau hanya membolak-balikkan badan, tidur tidak aktifitas pun tidak, bukannya itu lebih merugikan? Membiarkan waktu tersia-sia tak dimanfaatkan?

Tak terlalu ku dengar lagi kata-katanya. Ku kira percakapan kali ini sudah cukup tadi diakhiri, ternyata dia masih berkata kesana-kemari.

Sebenarnya aku ingin begitu juga, ingin tidur segera. Tapi kalau sedang terlalu banyak pikiran atau ada orang yang MENYEBALKAN, membuatku susah tertidur juga.” sengaja ku tekankan kata-kata menyebalkan agar dia sadar.

Samar suara tawanya terdengar, dalam volume yang tak begitu besar,“Iya, aku memang menyebalkan. Orang yang jujur memang seringkali menyebalkan. Kejujuran sering berteman dengan ketidakenakkan”.

Kamu jujur?” tanyaku dengan nada tak enak.

Setidaknya aku lebih jujur dari kamu, hahaha.” tawanya kembali meledak.

Ya ya ya, terserah kamu. Baik, aku akui aku memang tidak sejujur kamu. Aku juga minta maaf kalau ada sikapku yang kurang berkenan, tapi ku mohon sekarang kita akhiri percakapan kita ini. Memang mungkin aku tak langsung tertidur, tapi biarkan aku berjelajah ruang sunyi, berintrospeksi, sebelum kantuk menghampiri.

Dia sepertinya tau, menambah waktu obrolan denganku hanya akan menambah kebencian yang ku rasakan, “Baiklah, kapan-kapan kita akan bercakap-cakap lagi di saat senggang. Selamat menyelami sunyi, kawan.”salam penutupnya.

Ya, sama-sama.....kawan.”balasku.

Aku kembali memejamkan mata. Tapi segera ku buka lagi, ada yang tiba-tiba menyeruak di pikiran.

Hei, jangan pergi dulu, aku ingin melihat wujudmu, aku sungguh penasaran.” Kataku.

Suasana hening, tak terdengar ada tanggapan.

Ah, mungkin dia sudah pergi.”, keluhku.

Tapi keluhanku segera berlalu, setelah ku dengar lagi tawa menyebalkan itu.

Hahaha, kenapa kau penasaran denganku? Jika kau ingin melihatku, tinggal kau lihat saja cermin itu, kita sama, tapi tentu ada beda, aku terlihat lebih muda dan ceria, karena banyak hal yang tak ku jadikan beban sepeti yang kau lakukan, hahahaha.

Yeah, terserah katamu. Silakan kau mengejekku, yang penting, turuti permintaanku tunjukkan wujudmu.

Jangan-jangan kau hanya bisa menirukan suaraku tapi beda wujudmu. Mungkin saja sebenarnya wajahmu pucat pasi dengan banyak tetesan darah menghiasi. Atau wujudmu besar seperti genderuwo atau buta ijo. Ayolah tunjukkan. Apa aku harus mencabut bulu mataku? Atau menaruh potongan rambut dan kukuku -yang ku bungkus dalam potongan kain kafan- di salah satu sudut tempat tinggalku? Atau aku harus mengelilingi rumah sebanyak 7 kali di tengah malam ini?

Hahahaha”, tawanya kembali meledak. “Konyol kamu, tak usah bertindak bodoh hanya untuk melihatku. Baiklah, akan aku tunjukkan diriku. Sebentar, kawan."

Suasana kembali hening, begitu pun di luar, tak terdengar kendaraan berlalu lalang, hanya sesekali terdengar kucing mengeong kesepian. Jantungku serasa mempercepat detakan. Penasaranku pun memuncak benar-benar. Mungkin seperti seorang yang menunggu pengumuman sebuah undian, atau seorang yang menanti jawaban perempuan yang dilamar.

Masih hening, bahkan lebih hening, kucing yang tadinya sempat beberapa kali mengeongpun kini diam, mungkin bosan karena tak juga mendapat seorang kawan. Detak jantungku masih tak karuan. Aku tengok ke belakang, barangkali dia sudah muncul mengejutkan seperti dalam sebuah film horor kacangan.

Hai, kawan."

Sapanya saat dia sudah terlihat mata. Dia muncul, tidak di belakangku tapi di hadapanku, duduk di kursi yang sebelumnya ku duduki sambil ku pelototi. Detak jantungku yang tadi berdetak tak karuan, kini serasa sesaat dihentikan. Ku lihat sesosok yang sangat mirip denganku, dengan senyum andalanku. Postur tubuhnya, warna kulitnya, bentuk muka, bibir dan hidungnya benar-benar serupa, tapi ku lihat ada sedikit beda.

Aku coba menghirup oksigen dalam-dalam, beberapa saat kemudian ku hembuskan perlahan. Detak jantungku sudah tak menggila dan kini aku siap berkata.

Heh, jangan becanda.”, ujarku, lalu ku lanjutkan.

Cepat copot wig dan kacamatamu.

Kamar 211, Senin, 22-11-2010 kala dini hari.
gambar diambil dari sini

Thursday, November 4, 2010

Tahu (Pong) Gimbal

Beberapa hari yang lalu gue kepikiran dengan tahu gimbal, Teringat waktu masih di Semarang, biasanya selesai lari pagi waktu hari Minggu di Simpang Lima, terus makan tahu gimbal. Campuran tahu, telor, gimbal (udang dikasih tepung), juga kol dengan bumbu sambal kacang bener-bener menggoda selera.

Gue keinget lagi tahu gimbal gara-gara temen gue mau dinas luar ke Semarang. Denger kata Semarang, yang gue kangenin bukan wingko atau lumpianya, tapi tahu gimbal.

Yeyen : muss, tau tempat yang jual tahu gimbal di Jakarta gak?

Temanku yang sedang hamil 3 bulan lebih menyapaku lewat gtalk. Lagi pengen tahu gimbal tau-tau ada teman yang menanyakan tentang tahu gimbal. Benar-benar kebetulan. "Bisa dijadikan partner buat nyari tempat makan tahu gimbal di Jakarta ni." pikirku.

Sayangnya, gue belum tau tempat di Jakarta yang jual tahu gimbal. Gue coba searching di google, dapat alamat di Jalan Pesanggrahan, Jakarta Barat, cukup jauh juga. Gue lalu pasang status di facebook kalau gue pengen tahu gimbal. Agak alay kelihatannya, tapi membuahkan hasil, karena dari komen-komen yang masuk, ada temanku yang ngasih tau kalau di seberang Carrefour dekat shelter TransJakarta di Harmoni ada warung kaki lima Tahu Pong Semarang (TPS). Semangat bertambah, segera gue kabarin yeyen kalau ada tempat yang jual tahu gimbal di dekat kantor.

Setelah Maghrib, gue ama Yeyen meluncur ke TPS setelah sebelumnya mampir bentar ke kosnya Yeyen. Agak lebih deg-degan juga ngeboncengin ibu hamil, tapi gak apalah, sekalian buat belajar.

Gak terlalu sulit buat nemuin tempatnya. Walau warung kaki lima, tapi cukup ramai juga. Kami langsung memilih menu Tahu Pong Gimbal yang komplit dan minum jeruk hangat.

Tak begitu lama, pesanan segera diantar. Dua buah piring nasi putih (kami memang memesan dengan nasi putih) dan dua piring berisi beberapa potong tahu goreng, telor bulat goreng, dan gimbal, lalu disusul dengan dua buah piring kecil berisi sambal kecap. Kami berdua saling nengok -setelah menerima makanan yang kami pesan- dengan muka agak bingung.
"Kok beda ya mus ama tahu gimbal di Semarang?" ungkap Yeyen.
"Iyaya, kok beda."
Kami terdiam sesaat. Gue tengok baliho yang ada di belakang kami "Tahu Pong Semarang"
"O, mungkin tahu pong gimbal ama tahu gimbal beda kali ya?", tebakku.
"He em, mungkin gitu.", balas Yeyen.

Kami cukup menikmati tahu pong gimbal yang sudah kami pesan. Selesai makan tahu pong gimbal, kami memesan lumpia, mencicipinya barangkali rasanya agak beda dengan yang di Semarang.

Jam setengah 9an gue sampai di kosan. Cukup kenyang juga makan tahu pong gimbal (plus nasi) dan lumpia.

Gue masih penasaran dengan tahu pong gimbal yang tadi gue makan. Gue search di google dengan keywords tahu gimbal, setelah itu menggunakan keywords tahu pong gimbal. Ternyata hasil gambar yang ditampilkan beda.

tahu gimbal -yang kami pengenin- (potongan tahu, telor ceplok, kol, gimbal dengan sambal kacang ditambah kerupuk [agak mirip ketoprak])

tahu pong gimbal -yang tadi kami makan- (tahu dan telor goreng, juga gimbal yang disajikan dengan sambal kecap)

Agak kecewa juga belum jadi makan tahu gimbal yang gue pengein. Tapi tak apalah, jadi nambah wawasan juga kalau tahu gimbal dan tahu pong gimbal itu gak sama.