Karena semua apa dan siapa, dicipta bukan tanpa makna.

Wednesday, September 22, 2010

Perjalanan







1
Beberapa waktu lalu sebagian (besar) dari kita mudik. Memang tidak semuanya, karena sebagian (yang lain) punya alasan untuk tidak melakukan. Karena memang tinggal di ibukota, karena alasan mahalnya biaya, karena alasan masih bekerja, dan lain sebagainya. Selalu ada alasan untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu. Mereka yang mudik pun begitu juga, punya alasan. Dan aku pribadi merasa beruntung karena aku menjadi bagian dari sebagian (besar) dari kita yang punya alasan untuk melakukan.

2
Ada yang memilih kereta untuk mengantarnya ke kampung halaman, ada pula yang memilih pesawat terbang, yang lain lagi memilih bis malam, mereka yang punya mobil pribadi pun memanfaatkannya untuk pulang. Dan aku memilih untuk naik sepeda motor, sendirian.

3
Kamu mengkhawatirkan, dia tak setuju, mereka melarang, dengan alasan satu, keselamatan. Aku senang kalian seperti itu, walau tak mengijinkan, memberi jawaban yang tak ku inginkan, tapi itu suatu tanggapan, suatu perhatian. Bukan tak ku pedulikan, bukan tak ku indahkan, karena aku sudah memilih, sudah memutuskan.

4
Sekali lagi kau mengulang, "Urungkan niatmu, mudiklah naik bis, tak usah nekad, cari selamat." Sebelumnya aku yakin, tapi saat kau ulangi lagi, dan mereka pun mengamini, aku mulai ragu, satu dua orang melarang, belum terperhatikan, tapi saat semakin banyak orang berujar dengan kata beda namun makna serupa, lalu diulangi beberapa, akupun menjadi goyah, keyakinanku mulai pecah.

5
"Apa aku batalkan rencanaku? Masih banyak cara yang lebih mudah dan nyaman untuk mudik, tak perlu mencari yang menyulitkan." terbesit itu dalam pikiran, mengurungkan. Tapi tidak, aku telah memutuskan. Di sisi lain aku masih meragukan, padahal aku sudah punya persiapan. Ah, aku perlu waktu untuk menenangkan pikiran.

6
Aku tak perlu berganti rencana, aku harus meyakinkan diriku”, kucoba mantapkan. Butuh semacam dukungan dan penenang agar aku lebih teryakinkan. Kutelepon bapak dan emak di rumah, mengabarkan bahwa aku jadi mudik naik sepeda motor -walau sebenarnya aku masih menyangsikan untuk melakukan-. Seperti biasanya, kata-kata mereka tak terlalu beragam, dengan ucapan yang sering aku dengar dan doa dengan rima tak beraturan. Tapi walau tak seindah sebuah lagu, kata dan doa orang tua yang tulus tetap membangkitkan semangatku -juga keyakinanku-.

7
"Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Alloh bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Alloh orang-orang yang beriman harus bertawakkal”, ayat 51 dari surat Taubah. Tak sengaja aku membuka artinya saat aku tilawah sekitar satu jam sebelum keberangkatan. Entah (si)apa yang mendorongku untuk penasaran dengan arti ayat tersebut -bukan yang lain-, kubuka terjemahan artinya dan menakjubkan, ku dapatkan arti firman Tuhan yang begitu menenangkan.

8
Sepeda motor telah ku hidupkan, gigi motor sudah ku masukkan, tak ada alasan lagi untuk membatalkan. Aku menargetkan waktu 14 jam perjalanan dari kos sampai rumah, termasuk untuk rehat, sholat, dan mengisi bensin tentunya. Terlalu lama juga, tapi itu untuk berjaga-jaga, barangkali keadaan jalan dan lingkungan tak mendukung sepeda motorku melaju dengan lancar dan kencang.

9
Perjalanan ini dapat ku nikmati, jalan cukup lengang karena belum terlalu dekat dengan hari Lebaran. Di pinggir jalan terlihat perumahan dengan berbagai aktifitas manusia di sekitarnya, penjual, tukang bangunan, guru, ibu tumah tangga, anak sekolah, pengangguran, dan sebagainya. Di tempat yang lain terlihat persawahan dan pepohonan yang mendamaikan. Gerimis sesaat menyapa, sempat membuatku panik juga, tapi dia hadir untuk menyejukkan, bukan menyusahkan.

10
Perjalanan panjang tak selayaknya dibiarkan berjalan terus-terusan, ada saat kita butuh rehat, memberi masa, agar kita lebih kuat dan bersemangat. Aku pun melakukan itu, sekalian setelah aku sholat. Merilekskan otot yang pegal, mengistirahatkan indera agar lebih handal.

11
Banyak orang yang aku lihat, bahkan terlalu banyak hanya dalam jangka waktu yang relatif singkat. Tentu tak semua aku ingat, tapi sebagian masih tinggal dalam pikiran, mungkin terkenang.

12
Waktu mudik ini begitu bersahabat, dia seolah berjalan lebih lambat, membuatku merasa perjalananku lebih cepat. Waktu yang ku targetkan di awal kubuat lebih singkat. Sebelum Maghrib aku harus sudah ada di rumah, atau kurang dari 12 jam perjalanan. Aku ingin memulai buka dengan orang tua. Semangatku mengalir deras, dan aku bergegas.

13
Sial. Rasanya ingin aku tarik lagi kata-kataku. Tiba-tiba saja Tuhan seperti tak mengijinkan aku mengubah target waktuku, atau mungkin dia sedang menggodaku? Perjalanan yang sebelumnya terasa begitu tanpa halangan, kini mulai agak menyulitkan karena turun hujan. Jalan yang ku lewati sebagian tergenang, membuatnya licin dan kurang nyaman. Pandangan ke depan pun mengalami sedikit gangguan.

14
Tak bisa ku paksakan untuk menambah kecepatan dengan keadaan yang kurang mengenakkan. Aku pilih berjalan lebih pelan, memang menambah waktu, tapi terpenting kujaga keselamatan dengan tetap berusaha melaju ke depan.

15
Adzan berkumandang sebelum aku sampai tujuan. Sudah tak terlalu jauh dari rumah sebenarnya, terus melaju sampai di rumah memang bisa, tapi menyegerakan berbuka lebih utama.

16
Aku tiba di rumah, disambut senyum bapak dan emak yang manis dan cerah. Target waktuku memang tak tercapai, hanya terlewat sekian menit, bukan jam, tapi itu tetaplah sebuah keterlambatan. Tak ku keluhkan itu karena keadaan memang tak memungkinkan. Selama kita mencoba, walau berjalan tak sesuai rencana, asal kita tetap masih berusaha, aku sudah bangga, karena untuk hasil, itu bukan kuasa kita.

17
Kali ini aku siap melakukan perjalanan (lagi). Memang tujuan berbeda, tapi kelanjutan dari perjalanan sebelumnya. Masih dengan sepeda motor andalanku seperti perjalanan yang lalu. Aku akan kembali ke kota dimana aku bekerja, Jakarta. Kondisiku terlihat lebih kuat, sekian hari di rumah memberiku tambahan semangat. Cukup 12 jam saja untuk sampai di ibukota. Itu targetku, itu rencanaku, Tapi aku yakin akan berhasil, karena sekarang aku sudah punya bekal, semangat dan pengalaman.

18
Rencana memang tak selalu sama dengan realita. Keadaan jalan yang kukira akan cukup lengang, ternyata berkebalikan. Begitu banyak mobil dan motor yang mempunyai tujuan sama, ke ibukota. Tak mungkin ku paksakan untuk melaju kencang sesuai inginku. Aku harus mengikuti pergerakan arus di sekitar.

19
Capek, panas, dan hanya bisa bergerak pelan membuatku bosan. Aku menambah porsi rehatku agar bisa lebih segar. Ingin menunggu jalan lebih lengang, itu terlalu lama dan belum tentu datang adanya. Keluh kesah mulai datang, tapi perjalanan tak bisa ku hentikan.

20
Proses. Aku coba menikmati proses. Walau tak selalu berjalan lancar, kadang terhambat di pertengahan, tapi selalu ada hikmah dan pelajaran yang ditemukan. Dan dengan terus mencoba menikmati dan melalui proses, meski berjalan pelan, kita akan sampai pada tujuan.

21
Sebuah perjalanan, entah perjalanan mudik atau perjalanan dalam kehidupan, selalu penuh dengan berbagai kemungkinan, dengan dua garis besar yang berlawanan, antara menyenangkan-menjenuhkan, mudah-susah, tersesat-terarah yang datang bergantian agar kita tidak bosan.

22
Dan kini, perjalanan hidupku sedang berada di persinggahan tahun ke-22. Begitu banyak yang telah diberikan, begitu sedikit yang sudah ku lakukan. Persinggahan yang merupakan kelanjutan dari perjalanan sebelumnya menuju perjalanan ke depan yang lebih akbar. Aku tak tau dimana ujung perjalanan kita ini, atau mungkin tak berujung? Entahlah, aku ingin kita terus berjalan menikmati dan menjalani perjalanan kehidupan ini menuju tujuan yang sama, walau (terkadang) melalui jalan yang berbeda.



* gambar diambil dari sini

Tuesday, September 21, 2010

Surat Untuk "Aku" : review novel MPM


Untuk "Aku" yang ku belum tau namamu,

Aneh rasanya aku mengirimkan surat untuk seseorang yang belum aku kenal. Canggung, aku justru tidak, karena dengan aku tak mengenalmu (dalam kehidupan nyata), membuatku lebih bebas untuk mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan. Tadinya aku sempat bingung, bagaimana aku akan mengirimkan surat ini padamu, sementara, nama dan alamatmu saja belum aku tau. Akhirnya, ku putuskan untuk menulisnya dalam note facebook ini. Barangkali ada (setidaknya) seorang kawanmu yang membaca lalu menyampaikan ini padamu.

Mimpi bertemu dengan seorang manusia mulia, Muhammad SAW tentu sesuatu hal istimewa. Jika seorang muslim yang bermimpi dan menceritakannya saja sudah membuatku terkesan, apalagi engkau yang bukan seorang Muslim. Aku begitu penasaran dan bergegas membaca suratmu itu.

Di mimpimu, Muhammad SAW memberikan sebuah pesan, tentang sesuatu yang lebih utama dan lebih penting daripada iman, dan dia mengatakan, “Kebaikan, melebihi apapun, adalah yang paling utama. Aku menyebutnya ihsan.” Kau heran saat mendengar pesan itu, begitupun aku saat membaca dalam suratmu.

Mimpi yang sebagian merupakan bunga tidur itu kelihatannya begitu memberi kesan mendalam pada hati dan pikiranmu, kau begitu penasaran, hingga kau melakukan sebuah pencarian. Kau meninggalkan untuk menemukan.

Sudah begitu banyak tempat yang kau singgahi dan orang yang kau temui, diawali dengan kau mencari tau tentang apa itu mimpi -dari berbagai sumber-, cukup banyak dan panjang juga penjelasanmu tentang mimpi, menambah pengetahuanku juga, walau menurut pribadiku dosisnya cukup berlebih. Tapi aku rasa memang perlu juga kau mencari tau dulu tentang apa itu mimpi, pemahaman mimpi dari berbagai sudut pandang, karena dari mimpi itulah kau mulai tertarik dengan seorang Nabi dalam keyakinanku, bukan keyakinanmu. Kau cantumkan juga beberapa kisah tentang Muhammad SAW yang penuh hikmah dan mengharukan, juga ada beberapa kutipan dari beberapa buku, kasidah, lagu, puisi tentang Muhammad SAW. Kau begitu bersemangat dalam mencari tau tentangnya.

Di suratmu itu kau mengingatkan aku, hal yang (kelihatan) sederhana, seperti saat kita melihat batu atau paku di jalan, saat ada nenek yang akan menyeberang jalan, apakah untuk mengambil batu/paku atau untuk membantu nenek menyeberang jalan, kita perlu mempertimbangkan mereka yang melewati jalan itu hanya orang Islam atau bukan, apakah nenek yang akan menyeberang jalan itu satu iman atau bukan, tentu saja tidak, kawan. Berbuat kebaikan tak perlu dibatasi dengan sebuah agama dan keyakinan, meski di beberapa tempat ada batasan. Apa mungkin karena hal tersebut, kebaikan (ihsan) lebih utama daripada iman?

Saat aku mulai membaca suratmu, timbul rasa malu pada diriku. Saat kau mulai berkisah bahwa kau bermimpi bertemu Muhammad SAW, tau kah kau, sebelum membaca suratmu aku tak pernah berpikir tentang mimpi bertemu Muhammad SAW, jangankan berpikir itu, untuk memikirkan (ajaran) Muhammad SAW saja aku lebih sering lupa. Bagaimana aku bisa menjadi umatnya yang baik, sementara aku tak pernah dengan baik mencari tau dan belajar memahami kehidupan dan ajarannya. Kalau sudah seperti itu, apa aku tidak malu jika aku marah saat ada umat lain yang membenci dan mencaci Muhammad SAW, sementara aku tak pernah benar-benar mencintainya. Mungkin terlalu berlebihan, tapi bisa jadi jika nanti kita bertemu, kau seorang non-Muslim -yang seharusnya tidak lebih tau tentang Nabiku sehingga perlu bertanya pada aku yang mengaku Muhammad utusan Tuhanku-, malah tak perlu lagi bertanya padaku karena yang kau tanya tak lebih tau dari yang menanyakan.

Suratmu, walau menceritakan tentang pencarianmu terhadap kekasih Tuhan, tetaplah sebuah surat untuk seorang (mantan) kekasih hatimu. Terdapat hal-hal romantis yang kau sisipkan disana. Saat kau hanya mampu menatap gadis manis yang tersenyum di kalender untuk mengobati kerinduan akan senyum manis Azalea, saat kau mengenang "kebodohan" masa mudamu dengan dia, dan di hampir penghujung suratmu ada puisi indah yang kau tulis untuk Azalea, benar-benar menyentuh.

Kawan, mungkin sebenarnya kita “sama”, akupun barangkali "memimpikan” Muhammad SAW, begitupun umat Islam yang lain. Untuk kau, setelah terbangun dari mimpi bertemu Muhammad SAW, kau begitu gelisah, penasaran, hingga kau melakukan pencarian yang sejauh ini sudah ada beberapa hal yang kau dapatkan. Lalu aku tanyakan pada diri, apakah “mimpi” Muhammadku itu mampu membuatku gelisah dan penasaran seperti yang kau rasakan, sehingga aku pun melakukan pencarian? Atau jangan-jangan aku masih terlena dalam “mimpi” Muhammadku itu, masih membiarkan Muhammad SAW bersamaku (sebatas) dalam khayalan, tanpa menghadirkan dia dalam kenyataan.

Sampai lupa, kawan, aku sudah bercerita belum kalau aku mengetahui kisahmu dari sebuah buku. Ya suratmu untuk Azalea dijadikan sebuah buku yang dikemas dengan cukup menarik, covernya pun -menurutku yang awam- cukup bagus dengan perpaduan warna yang tepat walau terlihat agak pekat. Penulis novel itu bernama Fahd Djibran. Kau tau Fahd Djibran? Yang ku tau dia penulis muda berbakat. Ada campur tangan istrinya -yang seorang desainer- dalam pembuatan desain cover bukunya (Fahd yang menulis isinya dan Rizqa yang mendesain covernya, benar-benar pasangan kompak). Suratmu ini lalu dia sampaikan kepada Mas Rizal dan Mbak Nita (sepasang suami istri yang juga tak kalah kompak) dan merekapun setuju untuk menerbitkan suratmu dalam bentuk buku. Mengenai itu, dijelaskan pada interlude di bagian belakang buku. Fahd juga menyampaikan kesannya terhadap isi suratmu itu. Bagus memang penyampaiannya, tapi aku pribadi menjadi merasa agak digiring -dalam menerjemahkan pencarianmu itu dalam suratmu- setelah membaca kesan yang dia tulis, tapi itu tidak masalah, dia atau siapapun yang telah membaca suratmu berhak menyampaikan kesan terhadap isi suratmu yang menarik.

Sebagai penutup suratku, ku ucapkan terimakasih kepadamu (juga Azalea, Fahd dan istri beserta Mas Rizal dan Mbak Nita) yang sudah menghadirkan sebuah kisah yang menarik dan baik ini. Semoga kisahmu bisa memberi kebaikan kepada semakin banyak orang dan juga mampu membangunkan siapapun yang masih terbuai dengan "mimpi" Muhammad SAW untuk segera bangkit dan mencari punggung Muhammad.

Tembusan:
1. Azalea;
2. Fahd Djibran dan Rizqa;
3. Mas Rizal dan Mbak Nita Taufik;
4. Para (calon) pembaca novel MPM.