Untuk "Aku" yang ku belum tau namamu,
Aneh rasanya aku mengirimkan surat untuk seseorang yang belum aku kenal. Canggung, aku justru tidak, karena dengan aku tak mengenalmu (dalam kehidupan nyata), membuatku lebih bebas untuk mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan. Tadinya aku sempat bingung, bagaimana aku akan mengirimkan surat ini padamu, sementara, nama dan alamatmu saja belum aku tau. Akhirnya, ku putuskan untuk menulisnya dalam note facebook ini. Barangkali ada (setidaknya) seorang kawanmu yang membaca lalu menyampaikan ini padamu.
Mimpi bertemu dengan seorang manusia mulia, Muhammad SAW tentu sesuatu hal istimewa. Jika seorang muslim yang bermimpi dan menceritakannya saja sudah membuatku terkesan, apalagi engkau yang bukan seorang Muslim. Aku begitu penasaran dan bergegas membaca suratmu itu.
Di mimpimu, Muhammad SAW memberikan sebuah pesan, tentang sesuatu yang lebih utama dan lebih penting daripada iman, dan dia mengatakan, “Kebaikan, melebihi apapun, adalah yang paling utama. Aku menyebutnya ihsan.” Kau heran saat mendengar pesan itu, begitupun aku saat membaca dalam suratmu.
Mimpi yang sebagian merupakan bunga tidur itu kelihatannya begitu memberi kesan mendalam pada hati dan pikiranmu, kau begitu penasaran, hingga kau melakukan sebuah pencarian. Kau meninggalkan untuk menemukan.
Sudah begitu banyak tempat yang kau singgahi dan orang yang kau temui, diawali dengan kau mencari tau tentang apa itu mimpi -dari berbagai sumber-, cukup banyak dan panjang juga penjelasanmu tentang mimpi, menambah pengetahuanku juga, walau menurut pribadiku dosisnya cukup berlebih. Tapi aku rasa memang perlu juga kau mencari tau dulu tentang apa itu mimpi, pemahaman mimpi dari berbagai sudut pandang, karena dari mimpi itulah kau mulai tertarik dengan seorang Nabi dalam keyakinanku, bukan keyakinanmu. Kau cantumkan juga beberapa kisah tentang Muhammad SAW yang penuh hikmah dan mengharukan, juga ada beberapa kutipan dari beberapa buku, kasidah, lagu, puisi tentang Muhammad SAW. Kau begitu bersemangat dalam mencari tau tentangnya.
Di suratmu itu kau mengingatkan aku, hal yang (kelihatan) sederhana, seperti saat kita melihat batu atau paku di jalan, saat ada nenek yang akan menyeberang jalan, apakah untuk mengambil batu/paku atau untuk membantu nenek menyeberang jalan, kita perlu mempertimbangkan mereka yang melewati jalan itu hanya orang Islam atau bukan, apakah nenek yang akan menyeberang jalan itu satu iman atau bukan, tentu saja tidak, kawan. Berbuat kebaikan tak perlu dibatasi dengan sebuah agama dan keyakinan, meski di beberapa tempat ada batasan. Apa mungkin karena hal tersebut, kebaikan (ihsan) lebih utama daripada iman?
Saat aku mulai membaca suratmu, timbul rasa malu pada diriku. Saat kau mulai berkisah bahwa kau bermimpi bertemu Muhammad SAW, tau kah kau, sebelum membaca suratmu aku tak pernah berpikir tentang mimpi bertemu Muhammad SAW, jangankan berpikir itu, untuk memikirkan (ajaran) Muhammad SAW saja aku lebih sering lupa. Bagaimana aku bisa menjadi umatnya yang baik, sementara aku tak pernah dengan baik mencari tau dan belajar memahami kehidupan dan ajarannya. Kalau sudah seperti itu, apa aku tidak malu jika aku marah saat ada umat lain yang membenci dan mencaci Muhammad SAW, sementara aku tak pernah benar-benar mencintainya. Mungkin terlalu berlebihan, tapi bisa jadi jika nanti kita bertemu, kau seorang non-Muslim -yang seharusnya tidak lebih tau tentang Nabiku sehingga perlu bertanya pada aku yang mengaku Muhammad utusan Tuhanku-, malah tak perlu lagi bertanya padaku karena yang kau tanya tak lebih tau dari yang menanyakan.
Suratmu, walau menceritakan tentang pencarianmu terhadap kekasih Tuhan, tetaplah sebuah surat untuk seorang (mantan) kekasih hatimu. Terdapat hal-hal romantis yang kau sisipkan disana. Saat kau hanya mampu menatap gadis manis yang tersenyum di kalender untuk mengobati kerinduan akan senyum manis Azalea, saat kau mengenang "kebodohan" masa mudamu dengan dia, dan di hampir penghujung suratmu ada puisi indah yang kau tulis untuk Azalea, benar-benar menyentuh.
Kawan, mungkin sebenarnya kita “sama”, akupun barangkali "memimpikan” Muhammad SAW, begitupun umat Islam yang lain. Untuk kau, setelah terbangun dari mimpi bertemu Muhammad SAW, kau begitu gelisah, penasaran, hingga kau melakukan pencarian yang sejauh ini sudah ada beberapa hal yang kau dapatkan. Lalu aku tanyakan pada diri, apakah “mimpi” Muhammadku itu mampu membuatku gelisah dan penasaran seperti yang kau rasakan, sehingga aku pun melakukan pencarian? Atau jangan-jangan aku masih terlena dalam “mimpi” Muhammadku itu, masih membiarkan Muhammad SAW bersamaku (sebatas) dalam khayalan, tanpa menghadirkan dia dalam kenyataan.
Sampai lupa, kawan, aku sudah bercerita belum kalau aku mengetahui kisahmu dari sebuah buku. Ya suratmu untuk Azalea dijadikan sebuah buku yang dikemas dengan cukup menarik, covernya pun -menurutku yang awam- cukup bagus dengan perpaduan warna yang tepat walau terlihat agak pekat. Penulis novel itu bernama Fahd Djibran. Kau tau Fahd Djibran? Yang ku tau dia penulis muda berbakat. Ada campur tangan istrinya -yang seorang desainer- dalam pembuatan desain cover bukunya (Fahd yang menulis isinya dan Rizqa yang mendesain covernya, benar-benar pasangan kompak). Suratmu ini lalu dia sampaikan kepada Mas Rizal dan Mbak Nita (sepasang suami istri yang juga tak kalah kompak) dan merekapun setuju untuk menerbitkan suratmu dalam bentuk buku. Mengenai itu, dijelaskan pada interlude di bagian belakang buku. Fahd juga menyampaikan kesannya terhadap isi suratmu itu. Bagus memang penyampaiannya, tapi aku pribadi menjadi merasa agak digiring -dalam menerjemahkan pencarianmu itu dalam suratmu- setelah membaca kesan yang dia tulis, tapi itu tidak masalah, dia atau siapapun yang telah membaca suratmu berhak menyampaikan kesan terhadap isi suratmu yang menarik.
Sebagai penutup suratku, ku ucapkan terimakasih kepadamu (juga Azalea, Fahd dan istri beserta Mas Rizal dan Mbak Nita) yang sudah menghadirkan sebuah kisah yang menarik dan baik ini. Semoga kisahmu bisa memberi kebaikan kepada semakin banyak orang dan juga mampu membangunkan siapapun yang masih terbuai dengan "mimpi" Muhammad SAW untuk segera bangkit dan mencari punggung Muhammad.
Tembusan:
1. Azalea;
2. Fahd Djibran dan Rizqa;
3. Mas Rizal dan Mbak Nita Taufik;
4. Para (calon) pembaca novel MPM.
No comments:
Post a Comment