"Dimana?"
"Dimana?!"
"Dia mana?!"
Kamu berteriak kencang seolah khawatir tak ada seorangpun yang akan mendengar. Sudah berulangkali kucoba tenangkan, tapi gagal, kamu makin berpolah liar.
***
"Tuhan hilang." katamu seminggu lalu.
Aku terhenyak, kaget mendengar apa yang kauucap.
"Aku yakin, Tuhan telah hilang." Kamu kembali berujar, seperti mampu membaca mimikku yang masih tercengang.
"Bodoh kalau selama ini orang menganggap Tuhan ada dan begitu dekat. Mana? Di saat hamba-Nya begitu membutuhkan, Dia malah hilang dan tak menunjukkan sedikitpun kemahapengasih dan kemahapenyayangan."
Aku mulai yakin bahwa aku tak lagi salah mendengar. Kata-kata itu benar kamu ucapkan.
Perlahan dan penuh kehati-hatian kucoba tuk menenangkan. Aku tahu, kondisimu saat ini memang sangat 'mendukung' untuk terus memarahi Tuhan. Dia seperti tak bosan-bosan memberimu ujian, seolah tak ada hamba lain yang dapat Dia beri cobaan. Setelah calon istrimu secara sepihak membatalkan pertunangan dan merusak rencana pernikahan 2 bulan depan, rekan kerjamu tanpa rasa berdosa mencurangi kontrak perjanjian dan membuat usahamu gulung-tikar. Belum cukup demikian. Kedua orang tuamu yang sedang begitu senang karena adik satu-satumu lulus kuliah di kota seberang, saat dalam perjalanan usai wisuda, mobil mereka tertabrak dan tak seorang nyawapun terselamatkan, tentu saja ada adikmu dan kedua orang tuamu disana.
***
Aku kembali mengajakmu bicara. Barangkali kali ini emosimu sudah lebih terjaga. Kata lembut kukatakan, tak berhasil, sedikit nada tinggi mulai keluar, tetap nihil. Kamu masih terhanyut dalam emosimu.
"Sabar, kawan. Semua pasti ada hikmahnya. Bukankah Tuhan sudah berfirman bahwa bersama kesulitan ada kemudahan?"
Seorang kawanmu coba menenangkan. Kamu menatapnya sebentar lalu kembali melanjutkan 'kegilaan'. Berlari kesana-kemari sambil terus memaki. Kawan lain dan sanak-familimu pun telah mencoba, tapi tetap tak berdampak apa. Kali ini kamu memang sangat 'bebal', tidak ada kata satupun yang mampu melunakkan.
***
Empat puluh hari sudah setelah kematian orang tua dan adikmu. Sanak famili dan kawan-kawanmu mulai ijin untuk beraktifitas kembali. Rumahmu mulai sepi. Dan aku, masih mencoba menemani meski pekerjaan telah menanti.
"Terserah kalau kamu mau terus-terusan seperti itu. Aku sudah bosan!" Entah kenapa aku mulai tak sabar. Sungguh sebenarnya aku sebagai sahabat karibmu tak tega berkata kasar, tapi menurutku kali ini kamu sudah keterlaluan.
"Aku sudah menyerah untuk terus mengingatkanmu atas sumpah-serapahmu. Terserah kamu akan terus menyalahkan Tuhan. Terserah kamu anggap Dia telah hilang. Terserah. Memang kali ini Tuhan telah begitu banyak memberimu berbagai cobaan. Tapi seharusnya kamu bisa lihat, telah begitu banyak anugerah Tuhan yang telah Dia berikan selain cobaan yang Dia berikan. Dan di depan, tak menutup kemungkinan keberkahan akan terus Dia berikan."
"Kamu ngomong gitu karena kamu tak merasakan. Coba kalau kamu..."
"TERSERAH!" Aku pergi begitu saja memotong kata-katanya. Kata-katanya masih banyak yang menanti diucap, tapi seketika berhenti mendadak.
***
Hari ini kamu begitu tenang, diam. Tak ada lagi umpatan. Tubuhmu terbujur kaku dalam balutan kain kafan. Setelah kepergianku, kamu masih berdiam diri di rumah itu sendirian, terus meratapi semua kejadian. Mungkin sekian hari itu kamu tak sedikitpun makan, tubuhmu melemah, ditambah pikiranmu yang sedang carut-marut parah, akhirnya kau kalah, menyerah.
Setelah kamu menganggap Tuhan hilang, kini kamupun hilang, pergi melanjutkan tahap kehidupan. Tak tahu kemana. Mungkin sekarang kamu sedang berkunjung ke Tuhan. Mungkin kali ini kamu sedang bercengkerama dengan Tuhan. Mungkin saat ini Dia sedang memberi jawaban atas semua pertanyaan. Mungkin detik ini kamu tahu bahwa Dia tidak hilang . Yah, mungkin begitu, kawan.
No comments:
Post a Comment