Sabtu pagi yang lalu, setelah berziarah ke makam simbah, aku, bapak, serta beberapa tetangga minum kopi dan merokok sembari bercengkarama di ruang tamu rumah kami yang cukup mini. Akhirnya, setelah cukup lama tidak minum kopi, pagi itu, aku kembali menikmatinya. Minuman yang dulu hampir setiap hari menyapa bibirku, sekarang hampir sudah tak pernah lagi ku minum. Aku sudah lupa kapan pastinya aku terakhir ngopi sebelum pagi itu.
Dulu, aku, mas, mbak dan emak suka sekali minum kopi, tapi bukan sembarang kopi. Bukan kopi yang luar biasa si sebenarnya, tapi terasa begitu spesial buat kami. Kopi yang suka kami minum itu adalah kopi yang sudah diminum bapak, atau biar lebih singkat aku sebut saja Kopi Bapak. Ya, kopi dalam satu gelas yang tak terlalu besar yang sebenarnya diperuntukkan buat bapak, tapi kami minum rame-rame secara bergantian setelah bapak minum barang hanya seteguk, dan kadang memang hanya seteguk, tidak dilanjutkan dengan tegukan-tegukan lain karena segelas kopi yang baru sekali dua kali diteguk bapak itu sudah kami habiskan dalam waktu yang tidak begitu lama. Sungguh cukup aneh, tapi indah dan manis untuk dikenang. Kalo mau, sebenarnya kami bisa saja bikin segelas kopi untuk sendiri, lalu meminumnya. Bukankah seharusnya itu lebih puas dan nikmat, karena hanya kami sendiri yang meminumnya. Tapi entah kenapa, tetap saja kami lebih memilih kopi yang sudah diminum bapak.
Kadang, aku berebut dengan mas agar bisa meminum lebih dahulu kopi bapak tersebut, terutama saat kami masih kecil. Bapak hanya tersenyum, begitu juga emak. O ya, walaupun emak tidak ikut berebut untuk meminum kopi bapak, bukan berarti beliau tidak ikut menikmatinya. Beliau tetap menikmatinya, di urutan kedua setelah bapak, untuk urutan selanjutnya, bisa aku, mas, atau mbak yang sesekali pengen ikut menikmati kopi bapak. Kalau diurut berdasarkan umur atau kedudukan dalam keluarga, pastilah aku yang pertama kali tidak setuju. Aku kan anak bungsu, masa' aku harus dapat jatah paling akhir terus? Tidak adil bukan? Setidaknya menurutku. Untuk urutan kedua, tidak selalu emak si, bisa juga aku atau mas jika kami sudah tidak sabar :)
Sekarang, kebiasaan itu sudah hampir tidak pernah ku lakukan. Sejak aku tinggal di kos, otomatis aku tak bisa lagi menikmati minum kopi bapak. Begitu juga mas yang sekarang kerja di Cibitung. Hanya emak yang masih sering punya kesempatan untuk tetap menikmatinya. Hampir setiap bulan aku pulang ke rumah, dan pada saat pulang itulah seharusnya aku bisa "memanfaatkan" waktu untukt minum kopi bapak. Tapi, entah kenapa, sekarang aku agak rikuh buat melakukannya. Merasa sudah dewasa atau kurang sopankah? Lagi-lagi, entahlah. Padahal dulu sampai saat aku sudah duduk di bangku SMK pun, aku masih suka melakukannya. Bukankah seumuran anak SMK bukan anak-anak lagi, ya walo memang belum pantas dibilang dewasa seutuhnya.
Setelah aku berhenti minum kopi bapak, aku jadi jarang, atau malah hampir tidak pernah minum kopi lagi. Apa itu disebabkan karena bukan kopi bapak yang ku minum? Atau mungkin karena faktor lain, semisal karena efek samping kopi, sekali lagi, entahlah. Sekarang aku jadi lebih suka minum air putih, teh, susu, jus, sesekali soft drink, dan minuman lain selain kopi. Seperti pagi ini. Saat matahari baru sedikit menampakkan sinarnya. Raga yang masih sungkan untuk diajak beraktifitas ini mungkin akan lebih baik jika disapa dengan segelas kopi. Ya, turun sejenak ke bawah, membeli kopi di warung dekat kos. Lalu, segera menyeduhnya. Hmm, rasanya nikmat. Tapi, malas sekali aku beranjak dari kamar ini. Minum segelas air putih saja rasanya sudah cukup, tak perlu bersusah payah turun dari lantai 3 kos ini. Ah, mungkin aku memang sudah terlanjur hanya suka dengan kopi bapak. Sebentar, ada yang terlewat. Kalau di rumah, bukan hanya sekedar segelas kopi bapak, tapi karena kopi itu dibikin oleh emak.
No comments:
Post a Comment