Karena semua apa dan siapa, dicipta bukan tanpa makna.

Tuesday, October 19, 2010

Dinamika Hidup


Beberapa hari yang lalu aku cukup dikagetkan dengan kabar yang disampaikan emak lewat telepon. Seperti sudah menjadi kebiasaan, meski tidak dengan frekuensi teratur tapi emak cukup rajin meneleponku. Itu dilakukan jika aku sudah cukup lama (lama dalam hitungan emak) tidak menghubungi beliau. Telepon dengan diawali salam lalu tanya kabar, tanya apa yang sedang dilakukan, baru dimulai percakapan, tentang kabar terkini sekitar, yang terjadi pada emak, simbah, tetangga, dan lainnya.

Kali ini, emak memulai memberitakan kabar tentang tetangga dengan cukup mengejutkan.
"Ando (bukan nama sebenarnya), temenmu sekarang jadi kaya' orang stres."
Kalimat pembuka yang berhasil membuatku terkejut sekaligus penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
"Dua hari yang lalu dia mukulin ibunya, dia juga sering niruin gaya kelelawar sambil lari-lari."
Emak menjelaskan bahwa dia seperti itu setelah menemani adiknya yang jaga di salah satu SD di kampungku, katanya waktu dia sedang di dekat salah satu kelas, dia dihampiri seekor kelelawar raksasa, lalu kelelawar itu menyapanya, suara kelelawar itu suara wanita menurut cerita yang ku dapat dari emak. Setelah percakapan singkat, esok paginya ketika dia pulang ke rumah, saat ke kamar mandi, tiba-tiba dia keluar dan mengamuk ibunya seperti kesurupan. Kabar tersebut segera menyebar ke tetangga, mereka panik, iba, takut, bercampur aduk. Ada yang mengusulkan memanggil orang pintar, minta tolong guru agama, dan lainnya. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa temanku itu kesurupan jin di SD. Tapi ada juga yang beranggapan lebih realistis. Ando bukan kesurupan, dia hanya depresi. Setelah lulus SMA beberapa tahun lalu diteruskan dengan kerja serabutan kesana-kemari, dan beberapa waktu lalu akhirnya orang tuanya mengikutkan dia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Wonosobo yang bekerjasama dengan Pemda. Entah masalah apa saja yang membebani pikirannya, tapi menurut salah satu teman dekatnya, pastinya dia punya cukup banyak msalah yang bisa membuatnya depresi seperti itu. Entahlah mana yang benar.

Belum selesai keterpengarahanku akan kisah tentang temanku, emak melanjutkan kabar yang lain. Kali ini tentang tetanggaku yang memelihara burung puyuh. Dia memelihara 1.000 ekor lebih di rumah simbahnya yang masih berada di sekitar perumahan warga. Beberapa bulan memulai beternak, hasil sudah mulai terlihat. Setiap hari puyuh-puyuh itu menghasilkan telur yang cukup menyenangkan jumlahnya. Wabah penyakit yang sempat menjangkit ke peternakan puyuh tetangga satu desanya -hingga menyebabkan kematian separo lebih puyuhnya- pun tak menghampiri puyuh ternaknya. Mungkin itu rahasia Kemahaadil dan pengasihnya Tuhan. Dia memang sedang membiayai kuliah anaknya di Jogja dengan biaya yang tidak sedikit. Jika hanya mengandalkan gaji suaminya yang seorang guru terlalu memberatkan. Untunglah ada puyuh-puyuh itu. Beberapa kilogram telur puyuh yang mampu dijual bisa membantu meringankan beban biaya kuliah anaknya.

Tapi hidup memang tak selalu seperti yang kita inginkan. Saat sedang mulai menuai hasil ternak puyuhnya, ada saja tetangga di sekitar yang tidak berkenan dengan keberadaan ternak puyuh di dekat rumahnya. Mereka merasa terganggu dengan bau kotoran puyuh yang menyebar kemana-mana. Padahal si empunya rutin membersihkan tiap hari, dan sebelum memulai membuat kandang puyuh disana, dia sudah meminta ijin pada tetangga sekitar. Apa karena mungkin sekarang si empu puyuh sudah mendapat cukup penghasilan dari telur puyuh sehingga membuat si tetangga menjadi tak rela dia diganggu dengan aroma kotoran puyuh yang katanya telah membuatnya tak nyaman untuk tinggal. Si tetangga akhirnya melapor kepada Kepala Desa, minta agar si empu burung puyuh memindahkan kandang puyuhnya. Kepala Desa tidak menyetujui pengaduannya karena ternak tersebut sudah mendapat persetujuan warga sekitar dan dari hasil survei, tak terlalu mengganggu lingkungan.

Gerah atau mungkin karena sudah merasa tidak ada yang bisa diandalkan untuk mengabulkan aduannya, dia mulai bertindak anarkis. Kandang burung puyuh yang ada di dekat rumahnya ia lempari dengan batu-batu kecil. Begitu tau peristiwa itu, si empu puyuh tak kuasa menangis, maklum dia tetaplah seorang wanita, dia teman baik emak dan bapakku, maka ke emaklah dia mengadu dan tersedu.

Hari itu telepon emak dipenuhi dengan kabar-kabar yang kurang mengenakkan. Membuatku kepikiran, tentang temanku, tentang tetanggaku.

Hari berganti, belum sampai seminggu dari telepon emak yang penuh berita kelabu. Emak menelepon lagi, hari ini. Padahal belum genap seminggu, tapi emak sudah menghubungiku, mungkin rindu.
"Iya mak. Aku telepon balik aja ya mak." kataku dilanjutkan memutuskan telepon setelah emak menyetujui. Kadang aku memang seperti itu. Emak yang memulai menghubungi, aku angkat sebentar, ku kasih tau emak agar aku yang menelepon balik, aku lakukan itu barangkali saja pulsa emak sedang mepet. Menganggap rendah emak? Menurutku tidak, terkadang emak kurang enak hati kalau bilangtidak punya pulsa atau butuh uang, yach namanya orang tua.

Seperti kebiasaan, dibuka salam, tanya kabar, apa yang sedang dilakukan, baru dimulai percakapan.
"Rif, Alhamdulillah Ando udah baikan. Dia akhirnya di-rukyah. Kondisi semakin membaik. Tadi dia sudah diajak ke kebun sama bapak dan liknya."
Walau aku tidak melihat langsung peristiwa yang terjadi pada temanku dari (kata orang) kesurupan hingga baikan, tapi mendengar kabarnya saja aku sudah turut bahagia.
"O iya, Mbak Narti (bukan nama asli juga) sekarang sudah aman puyuhnya. Masnya minta tolong ke polisi buat memberitahu tetangganya agar tidak bertindak anarkis sendiri. Cuma dikasih tahu saja, tidak sampai tindakan keras, tapi mungkin karena polisi yang memberi tahu, si tetangga jadi mau. Pembatas rumah dengan tetangganya tersebut pun sekarang dibangun dengan batako yang cukup tinggi agar bau kotoran tidak ke rumah tetangga, tiap pagi kotoran puyuh dibuang ke kali yang jauh dari rumah warga."

Baru beberapa hari lalu emak menjejaliku dengan kabar-kabar kurang mengenakkan. Tapi tak butuh waktu lama, keadaan kembali seperti semula, membahagia. Ah, benar kiranya, hidup tak selamanya manis, tapi tak berarti harus membuatmu menangis.

gambar diambil dari sini

No comments:

Post a Comment