“Brak”, motor scoopy
warna merah itu jatuh di sebelah kanan aku dan motorku. Pengendaranya terlihat
agak susah payah menahan goncangannya maka ia pun terjatuh.
“Masnya sih gak nglakson.”
“Kan ini jalur satu arah, mbak.”
“Kan ini jalur satu arah, mbak.”
***
Selepas Maghrib aku berencana akan menghadiri acara
tanya-jawab dengan salah satu Cagub DKI, Faisal Basri dalam acara yang diselenggarakan
freedom institute bertajuk “Jakarta Masa Depan”. Ini acara kali kedua setelah pada kesempatan pertama Jokowi
yang notabene juga salah satu Cagub DKI, menjadi narasumbernya. Tapi aku tak
mengikuti karena pekan lalu aku tak mendapat infonya. Untuk penyelenggaraan
kali kedua inipun aku dapat info dari seorang teman.
Sekali aku kesana ternyata belum cukup untuk membuatku hafal
dimana posisi perpustakaan tersebut. Sekarang aku sudah berada di Jalan Proklamasi, letak freedom
institute, tapi belum ku temukan -di saat kemudian aku kemudian tahu letaknya di Wisma Proklamasi di ujung
jalan, di persimpangan antara jalan tersebut dengan Jalan Diponegoro, jalan sekitaran
lokasi RS. Cipto Mangunkusumo-.
Kupelankan laju kendaraan.
Jalur satu arah, tak apalah jika aku kendarakan motor di lajur kanan.
Pelan-pelan kutengok bangunan sekitar. Aku ingat posisinya di sebelah kanan,
tapi posisi pastinya aku tak ingat. Tengok kanan, tengok depan, tengok kanan, tengok
depan, ada sebuah motor melaju ke arahku. Dimana-mana, jika tak ada polisi,
selalu saja ada pengendara yang hobi memotong jalan, untuk menghemat waktu, ya, aku
pun sering juga.
Motor yang melawan arah mulai mendekat, si pengendara mulai
terlihat, seorang perempuan, sepertinya masih seumuran. Semakin ku pelankan
kecepatan, ku pepetkan motor ke arah kanan (tentu tak sampai ke trotoar karena
posisinya lebih tinggi dari jalan) agar motor si pelawan arah tersebut bisa lebih leluasa
lewat. Semakin dekat, dekat, dan hah, si pengendara tak membelokkan motornya
hingga menyentuh motorku yang sudah dalam posisi nyaris berhenti.
***
“Jadi, enaknya gimana?” tanya salah satu mas-mas yang ikut
ngumpul dengan kami. Motor kami dibawa ke pelataran sebuah kantor tak jauh dari
tempat kejadian yang ternyata kantor perempuan tadi. Dan mas-mas tadi, juga
mas-mas dan bapak yang sekarang berkumpul di sekitar kami (nyaris 10 orang) adalah
teman kantornya, termasuk juga dua security disana!
“Kok jadi kek gini. Kan dia yang nglawan arah.” aku membela
diri, dengan berbagai dalih. Sesekali kulihat jam, sudah jam 7 lewat, acara “Jakarta Masa Depan” sudah dimulai. Hampir dipastikan bakal terlewat.
“Tapi, dia cewek lho, mas. Masa’ tega? Bantu lah buat
benerin.” sambil menunjuk body motor yang lecet, cat motor di depan yang
mengelupas, pijakan kaki yang pecah di salah satu sisi kiri, dan stangnya yang
agak miring. Entah kata-kata apa saja yang mereka ucapkan, bergantian, tapi
semuanya seperti menyudutkan, intinya aku mesti bertanggungjawab atas
‘kecelakaan’ tersebut.
Baik, aku menyetujui untuk membantu biaya service motornya.
Aku keluarkan uang untuk si ‘korban’.
“Gak, mas.” dia menolak. “Ntar dikira aku minta duit.
Motornya di-service-in aja.”
“Hm?” aku berpikir sejenak. “Oke, tapi besok ya. Nomor hapemu
berapa biar bisa ku hubungi. Besok ketemu disini, di kantormu.”
Setelah kami bertukar nomor hape juga nama, aku rasa urusan
untuk malam ini sudah selesai. Ternyata belum. Teman-temannya masih belum lega
dan menaruh curiga. Mereka minta semacam jaminan agar besok aku tak
berlepastangan. Ucap dengan nama Tuhan pun tak mereka hiraukan. Padahal itu
kata-kata yang tak pantas untuk aku atau siapapun permainkan. Atau mungkin di
luar sana tak sedikit orang yang sudah seenaknya menggunakan, sehingga
kesakralan maknanya mulai kehilangan kepercayaan?
Mereka pinjam KTP-ku untuk difotokopi. “KTP daerah?”
“SIMnya mas.” juga dengan SIM daerah. Mereka khawatir aku
benar-benar akan menghindar. Maka aku sebut alamat kosku dimana. Tapi, mereka
masih butuh jaminan yang lebih kuat, akhirnya tak sekedar fotokopi, SIMku pun ditahan
di pos satpam. “Besok masnya ambil aja disini.” kata satpam, tak galak, tapi
dengan tak melepaskan ketegasan.
Malam ini motornya ditinggal di kantor karena dia khawatir
di perjalanan pulang motornya mogok atau apapun. Seorang teman mengusulkan
untuk bertukaran motor denganku, tapi dia menolak karena belum bisa mengendarai
motor selain matic.
Akhirnya seorang teman menawarkan diri untuk mengantarnya
pulang.
“Besok aku berangkat kantornya naik apa?”, tanyanya.
“Ya udah, besok aku jemput.” ucapku tanpa banyak pertimbangan.
Perempuan naik motor sendiri untuk berangkat kerja pikirku kemungkinan tempat
tinggalnya tak jauh-jauh jaraknya. “Rumahmu dimana?" lanjutku.
“Pondok Kopi.”
Pondok Kopi? Jakarta Timur? Daerah macet?! glekk! aku
serasa ingin menarik tawaran bantuanku. Tapi tak pantas kiranya.
Setelah tanya jam berapa biasanya dia berangkat kantor dan
ini-itu, rembugan sudah dianggap selesai. Dan tentu saja meski ia sudah diantar
pulang seorang teman, aku tetap mengikuti mereka -dengan ijin dahulu
tentunya- untuk mengetahui dimana rumahnya.
Di rumah, aku diminta masuk untuk bertemu ibunya. Beliau berterimakasih karena aku -si ‘pelaku’- bersedia
bertanggungjawab. Mungkin di saat ini, terlebih di ibukota, orang baik sudah
jarang ditemukan? Apalagi jika belum saling kenal? Entahlah.
***
Sekitar pukul 06.30 WIB aku sudah tiba di sebelah Kantor
Walikota Jakarta timur, dekat dengan rumahnya. Lebih awal satu jam dari waktu
biasa dia berangkat kerja. Sebelumnya aku sudah mengabari atasanku bahwa pagi
ini aku akan mengurus motor ‘teman’ yang tadi malam baru senggolan (bukan
tabrakan).
“Wah, aku belum mandi. Ntar kalau aku sudah mandi aku
hubungi.”
Awalnya ada rencana aku menunggunya di depan rumah, tapi tak enak juga, toh kita hanyalah si ‘pelaku’ dan si ‘korban’. Aku putuskan untuk menunggu sambil sarapan.
Awalnya ada rencana aku menunggunya di depan rumah, tapi tak enak juga, toh kita hanyalah si ‘pelaku’ dan si ‘korban’. Aku putuskan untuk menunggu sambil sarapan.
Setengah jam kemudian dia sudah bersiap dan kami segera
berangkat. Jalanan pastinya macet. Untung dia mengarahkan jalan alternatif yang
meski macet pula tapi tak separah jalan utama.
Satpam kantornya segera menyerahkan SIM yang tadi malam
ditahan. Pagi ini suasana berbeda, orang
di sekitar lebih akrab terasa. Apakah karena si ‘pelaku’ telah benar-benar
bertanggung jawab atas ‘perbuatan’nya?
Aku meminjam kunci dan STNK sebelum dia beranjak masuk
kantor. Motor aku titipkan disana, dan kubawa motornya untuk di-service. Obrolan singkat dengan satpam sempat dilontarkan.
“Loh, kalau gitu ceritanya berarti dia yang nabrak dong mas.” kata
seorang satpam menyimpulkan.
Aku tersenyum.
***
Masih cukup pagi. Antrean
di AHASS Soeprapto tak banyak. Tak menunggu lama motorku segera di-service. Aku
katakan pada petugas service bahwa motornya baru jatuh dan stangnya agak
miring.
Diutak-atik, service secara keseluruhan, lalu dicoba
dikendarai oleh orang AHASS, ternyata masih agak miring. Selesai di-stel
komstirnya, motor sudah kembali nyaman digunakan. Aku berikan uang Rp10ribu untuk
petugas service tersebut karena biaya
stel komstir di luar biaya tune up.
***
Sengaja tak segera kubawa motor kembali ke pemiliknya karena
tak enak juga pergi terlalu lama dan meninggalkan tempat kerja.
Sebelumnya dia mengirim SMS, mengucapkan terimakasih karena
sudah mengantar ke tempat kerja. Siang harinya, ia kembali mengirim SMS, lebih
kurang memberitahukan kalau semestinya aku menggunakan kartu service gratisnya
yang masih ada untuk membetulkan stangnya, sementara uangku untuk memperbaiki
pijakan kaki yang pecah.
Entah dengan nada seperti
apa jika kata-kata dalam SMSnya diucapkan. Tapi itu membuatku cukup kesal.
Kenapa tak dari tadi dia memberitahukan. Dia lupa? Lagi-lagi, entahlah. Tapi kutahan diri
untuk tak keburu emosi. Akhirnya SMSnya tak kuberi tanggapan.
Selepas sholat Ashar aku beranjak ke parkiran, bersiap
menuju tempat kerjanya. Menyerahkan motornya juga mengambil motorku yang tadi
pagi ku titipkan. Kuajak seorang teman kesana. Bukan untuk teman bertengkar
mulut, sebagai saksi jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tak ada salahnya
berjaga-jaga pikirku.
Dalam rencana aku akan menggunakan beberapa cara untuk
membicarakan tentang penggantian biaya kerusakan motornya. Untuk stang sudah ku
perbaiki, tinggal pijakan kaki yang pecah sedikit dan body motor yang lecet di
sisi kanan dan cat mengelupas di depan. Aku rasa biaya-biaya atas kerusakan yang
tekah diakibatkan sewajarnya ditanggung olehnya. Meski motornya yang mengalami
kerusakan, akulah yang lebih layak disebut ‘korban’. Aku berada di arah
berkendara yang benar dan motornya lah yang cenderung menyenggol motorku, bukan
sebaliknya. Kalaupun aku tak menglakson dia, aku dalam posisi tak tahu bahwa
ternyata dia sedang tak memperhatikan jalan begitu keluar kantor dan melaju
beberapa meter ke depan. Pikirku dia akan membelokkan sedikit kendaraannya ke
kanan agar tak menyenggol motorku yang sudah mepet di pojok kanan. Tapi, sudah
lah, semua sudah terjadi. Tinggal bagaimana ke depan.
Aku akan mencoba
obrolkan dengan dia tentang pengurusan sisa perbaikan motornya. Awalnya dengan
cara santai -diselingi becanda-, jika tak berhasil, aku mulai obrolkan dengan
cara serius, kalau tak mau, boleh juga kubawa urusan ke polisi -toh meski
motorku plat daerah tapi aku pikir aku di posisi yang benar-, kalau tak
berhasil juga ya sudah ku tinggalkan. Yang penting aku sudah sedikit memberikan
bantuan dengan memperbaiki stang motornya.
***
Gelak tawa dan becandaan lepas begitu saja. Teman-teman
kantor yang sebagian ada tadi malam pun ikut juga. Ternyata apa yang telah
dialami salah satu temannya dari tadi malam, berlanjut tadi pagi yang kuantar
lalu ku-service-kan motornya menjadi bahan obrolan santai seharian itu.
“Motornya udah enak kok.” kata seorang temannya yang telah
mencoba.
“Cieee.” seorang temannya yang baru saja keluar kantor dan
ikut berkumpul di dekat parkiran.
“Wah, motornya sudah cuciin segala. Bensinnya juga sudah
penuh.”
"Kemarin-kemarin baru jatuh, tadi malam jatuh lagi." Hah?! ternyata belum lama ini dia jatuh dari motornya? Jangan-jangan dia memang belum mahir berkendara!
"Kemarin-kemarin baru jatuh, tadi malam jatuh lagi." Hah?! ternyata belum lama ini dia jatuh dari motornya? Jangan-jangan dia memang belum mahir berkendara!
Dan lain sebagainya kata-kata dilontarkan. Kekhawatiran-kekhawatiran yang tadi
sempat menyeruak hilang seketika. Obrolan-obrolan cukup menegangkan tadi malam
pun seperti terlupa. Sekarang mereka begitu bersahabat. Begitu akrab.
***
Dalam perjalanan kembali ke kantor, terpikir kembali apa-apa
yang baru ku alami. Sebuah rencana untuk pergi ke acara tanya-jawab dengan
Cagub DKI berubah menjadi peritiwa yang bak sebuah drama. Mungkin selingan
perjalanan kehidupan, mungkin ada ujian, mungkin pula peringatan, tapi semestinya
tetap dijadikan pelajaran.
Setidaknya sebagian dari mereka mungkin bisa menjadi teman
ke depan. Setidaknya aku mesti lebih berhati berkendara dan lebih peka terhadap
lingkungan. Setidaknya aku pun jadi tahu daerah Pondok Kopi yang sebelumnya
belum begitu kutahu tempatnya, dan setidaknya-setidaknya yang lain.
“Loh, kamu tu korbannya tapi kamu yang service motornya?
Jemput dia ke kantor?” tanya temanku keheranan.
“Emang ya.” lanjutnya, “orang baik sama orang bodoh itu
kadang tipis bedanya.”
Sial!
(24 - 25 April 2012)
gambar diambil dari sini
Luar biasa juga kisahnya..cakep ga bro ceweknya? :D
ReplyDeletehehehe, relatif si, kalau menurut gw standar :D
Deletetapi, setidaknya dia dan temen2nya yg awalnya agak kurang bersahabat pas kejadian, setelah gw anter dan service motornya, jadi pada asik orangnya (yaeyalah Rip) :))