Thursday, March 29, 2012
Menilik Milik (1)
Rencana mudik akhir pekan ini gagal! Aku sudah selesai bersiap-siap
dan berkemas sebelum adzan Maghrib dikumandangkan. Tiket yang aku beli dari tadi
siang, baju dan keperluan lain yang akan kubawa pulang, juga sebuah hape baru
yang masih dalam kemasan. Ya, sebuah hape baru yang rencananya akan ku berikan pada
emak -seharga sekira seperlima dari harga hapeku- sebagai pengganti hape emak
yang mulai rusak.
Dengan naik ojek setengah jam waktu ‘wajar’ yang diperlukan
untuk melaju dari kosan hingga pol bis Malino Putra. Tentu estimasi macet sudah
diperhitungkan, tapi dalam batas yang tak keterlaluan. Sementara, sekarang
hujan deras berarak. Macet tentu bisa berkali lipat.Dalam kondisi seperti ini bajaj
akan sulit didapat. Pesan taksi pun tak mungkin datang dengan cepat. 45 menit
yang masih tersedia sebelum keberangkatan bis pun sepertinya tak memperbaiki
keadaan. Oke, mudik kali ini dibatalkan.
Ada film Keumala yang katanya cukup layak disaksikan. Hari
Minggu pekan kedua, jadual Aa’ Gym memberikan Kajian Tauhid di Masjid Istiqlal.
Ah, tak jadi mudik pun tak terlalu disesalkan, masih ada lain kesempatan. Sabtu
nonton dan jalan-jalan, Minggu ikut kajian. Agenda revisi ku putuskan.
Setelah menghubungi dua sahabat, Devi dan Ibnu, kami
bersepakat berangkat. Aku membawa tas punggung dengan beraneka rupa isinya.
Kartu dan surat macam KTP, SIM, STNK, Kartu ATM, Kartu Askes, Kartu PNS
Elektronik, Kartu NPWP dan lain sebagainya. Sebagaian memang kartu/surat yang
ku butuhkan jika bepergian, tapi sebagian kartu yang hanya ku biarkan tergeletak
di dalam tas dan tak ku pindah-pindah entah dari bulan kapan. Kamera saku juga
kubawa, karena rencana hari ini bertambah. Tak hanya ikut kajian, tapi rencana
juga akan ke Islamic Book Fair, disana ada Asmirandah! Aku juga membawa sebuah kaos
berkerah andalanku jika bepergian. Itu ku masukkan ke dalam tas, karena dengam
sedikit pertimbangan, untuk ikut kajian aku memakai baju koko lengan pendek
dahulu. Hape android sebagai salah satu barang kesayangan juga tak lupa dibawa.
Sudah ku siapkan charger portable jika nanti baterai sudah melemah. Card reader
beserta adapter untuk micro SD pun aku bawa, meski sebenarnya tak terlalu ku
butuhkan. Ya, menjadi kebiasanku untuk bermalas-malasan memindahkan
barang-barang ‘kecil’ yang pernah ku masukkan ke tas -saat dibawa kantor dan
lain sebagainya-. Baru akan ku keluarkan saat aku akan menggunakan atau
membutuhkan.
Masjid terbesar se-Asia Tenggara itu sudah mulai didatangi
jama’ah, cukup banyak, meski belum penuh sesak. Kali ini Ustadz Yusuf Mansyur yang
sedang memberikan kajian. Meski kajian Beliau semacam kajian ‘pembuka’ sebelum
Aa’ Gym, tetap saja kajian Ustadz Yusuf Mansyur layak didengarkan. Aku duduk
bersila di sekitar shof enam sebelah kanan, sementara Ibnu yang sudah datang
duluan berada di bagian tengah cukup depan. Tema kajian kali ini tentang
menyempurnakan rukun Islam.
Hape masih setia di pegangan, terus ku mainkan. Chatting,
facebook-an, twitter-an, atau sekedar membaca artikel-artikel ringan. Sesekali
ku dengarkan materi yang diberikan. Ustadz Yusuf Mansyur berujar, “Kita harus
mengoneksikan diri kita dengan Ka’bah jika kita ingin haji. Sering-sering
dengar bacaan Al Quran imam disana. Menyaksikan siaran sholat langsung dari
Makkah, memasang foto Ka’bahdi rumah, dll, sehingga kita terpacu untuk semakin
berikhtiar dan berdoa agar panggilan Alloh untuk kita berhaji segera tiba.” Tak
begitu mirip seperti itu apa yang Beliau ucapkan, tapi isinya insyaAlloh tak
berlawanan.
Sekitar jam 10 mulailah Aa’ Gym memberikan ceramah. Jama’ah
yang berdatangan mulai berlimpah. Masih dengan tema yang sama, tentu dengan
cara penyampaian yang berbeda, tapi tetap sama-sama mengena.“Jangan terburu
berkata tak bisa, kalau Alloh berkehendak segalanya pasti bisa.” sama seperti
tadi, tak begitu mirip kata-kata aslinya, tapi tak menyimpang isinya. “Kita di
hadapan Alloh mah tidak ada apa-apanya.” Aa’ Gym berkata di beberapa waktu
kemudian, “rumah mewah, mobil bagus, istri cantik, dan lain sebagainya, kalau
Alloh Sang Pemilik Segalanya berkehendak mengambil, kita tak bisa menolaknya.”Sebagian
materi masuk ke pikiran, sebagian menyusup di hati, sementara jari-jari
tanganku masih aktif dengan hape yang ku mainkan, bukan mencatat poin-poin penting
dari apa yang Aa’ Gym utarakan.
Ditutup dengan pembacaan doa oleh Aa’ Gym, setelah
sebelumnya diberikan waktu untuk tanya-jawab serta pengucapan dua kalimat
syahadat dua orang muallaf (lelaki dan perempuan) yang cukup syahdu dan
menggetarkan, aku segera beranjak ke toilet untuk buang air kecil untuk
kemudian mengambil air wudhu sebelum sholat Dzuhur ditegakkan.Baterai hape semakin
berkurang, sudah waktunya diisiulang. Ku masukkan dalam tas dalam posisi ku colokkan
ke charge portable.
Selesai adzan dikumandangkan, aku sholat rowatib qobliyah
Dzuhur. Tas kutaruh di sebelah, di tepi tiang. Tak lama berselang, iqomah
dikumandangkan, jama’ah bergerak maju untuk mengisi shof yang masih luang,
begitu pun aku, maju beberapa langkah, di 2 shof depan. “Ah, tak begitu jauh
dari posisi semula.” pikirku, maka tas punggungku tetap tersandar di salah satu
tiang. Segera ku rapatkan shof untuk menjalankan kewajiban.
Dzikir cukup singkat ku lakukan. Tadinya aku akan segera
bangkit dan beranjak, sholat rowatib ba’diyah Dzuhur rencana nanti ku kerjakan,
mungkin mampir kos sebentar sebelum berangkat ke Istora Senayan. Kutengok ke
belakang, ternyata beberapa jama’ah masih menjalan sholat sunnah tersebut. Tak
pantas aku melenggang di hadapan. Akhirnya ku jalankan sholat rowatib tersebut
sekarang.
Aku terdiam di depan salah satu tiang. Tak percaya! Aku
putari tiang itu barangkali ada yang memindahnya. Tetap tak ada! Aku mulai
panik. Tas punggung yang tadi aku letakkan sudah tak ada di tempatnya. Aku
segera tanya ke seorang yang duduk di depan tiang itu, semoga saja dia
melihatnya. “Iya, tadi tas sampeyan ditaruh di sini ya? Saya juga lihat. Tapi
abis itu saya juga gak merhatiin.” ujarnya yang dilanjutkan dengan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Bapak-bapak di sebelahnya mulai membaca
gelagatku yang makin tak keruan. Dia pun mendengarkan penjelasanku meski nadaku
tak beraturan. “Sebentar, Pak, aku tanya ke petugas masjid.” Tak jauh dari
tempatku ada seseorang yang baru saja menyerahkan seorang anak yang sempat
‘hilang’ di kerumunan. Bapaknya mengelus-elus rambutnya, memeluk, menenangkannya,
untuk kemudian berterimakasih pada petugas. “Pak, tas saya hilang.” masih
terengah-engah aku menjelaskan, mungkin karena panik yang berlebihan.
“Tasnya ditaruh di mana?” tanyanya.
“Di tiang itu, Pak.” ku tunjukkan posisinya.
“Oh, kalau itu masnya yang salah. Kan keadaan lagi ramai gini, tadi sudah diumumkan
untuk barang bawaan dititipkan ke tempat penitipan. Kalau sudah seperti ini
sudah sulit dilacak.”
Oke, aku salah. Aku kembali ke mas-mas dan bapak yang masih
duduk dekat tiang. Setelah menanyakan perkembangannya, bapak tersebut
menyarankan aku untuk sholat 2 roka’at, menenangkan pikiran. Masnya pun
menawarkan bantuan untuk mengantar pulang. Sedikit kelegaan ku temukan, meski
tas belum ku temukan, aku dipertemukan dengan mereka yang begitu baik.
“Terimakasih, mas,atas
tawaran bantuannya, aku ada teman, nanti aku bisa pulang dengannya.” Aku
berpamitan pada mas dan bapak itu.
Aku mondar-mandir kesana kemari. Keadaan masih begitu riuh,
para jama’ah sedang berhamburan untuk pulang. Dalam kondisi seperti itu aku sulit menemukan Devi
dan Ibnu. Tak mungkin aku meneleponnya -meski misal ada yang meminjami hape-,
karena aku tak hafal nomor mereka berdua. “Pusat Informasi.” tujuanku kemudian.
“Maaf, Pak, mau lapor, tas saya hilang.”
Ku jelaskan
serupa apa yang ku sampaikan kepada pengurus masjid di atas, jawaban pun
serupa.
“Coba mas
telepon dulu nomor, mas. Kalau bisa dihubungi dan diangkat, berarti yang bawa
tas mas bukan niat ngambil. Tapi kalau gak diangkat ya ikhlasin aja, mas.”
Kuketik
nomorku di hape bapak-bapak pusat informasi. “Tut tut tut.”, terhubung dengan
nomorku, sesaat, lalu kemudian, “Maaf, nomor yang anda hubungi sedang sibuk,
silakan coba beberapa saat lagi.” Di-reject. Aku coba lagi, “Maaf, nomor yang
anda hubungi sedang tidak aktif atau di luar area….” Case closed.
Di depan
masjid Istiqlal akhirnya dapat ku temui Ibnu. Aku sempat beranjak ke parkir
motor untuk mengecek apakah motorku masih ada atau tidak. Terkesan berlebihan,
tapi dalam keadaan panik, dalam posisi kunci motor, STNK, bahkan karcis parkir
berada di tas punggung yang hilang, ada pikiran motorku juga sudah diambil.
Pemikiran yang beberapa waktu kemudian membuatku tersenyum karena tentu si
pengambil tas butuh waktu lebih untuk mencari sebuah motor –meski sudah tahu
tipe dan nomor platnya dari STNKnya- di parkir motor yang ramai karena sedang
ada acara pengajian.
Kepanikan
belum mereda. Setelah tiba di kos dengan meminjam motor Ibnu, aku tak bisa
membuka kamar kos karena kunci kamar kos digabung satu gantungan dengan kunci
motor dan kunci gerbang kos. Untung ibu kos masih punya kunci cadangan. Di
kamar pun –setelah kuacak-acak- ku dapatkan kunci motor cadangan di laci.
Menelepon call centre Bank Mandiri dan BRI untuk memblokir kartu ATMku dengan
hapeku. Sempat bingung dengan nomor rekeningku. AKu tak hafal dan buku tabungan
Bank Mandiriku juga di tas. Dengan struk-struk yang berceceran di kamar,
akhirnya dapat ku sebutkan nomor rekeningku. Dengan menjawab beberapa
pertanyaan mengenai data diri oleh petugas call centre, kartu ATMku berhasil
diblokir. Dari info salah seirang kawan, ternyata meski tidak
menyebutkan nomor rekening, cukup menyebutkan nama pemilik rekening dan kantor
cabangnya, lalu menjawab pertanyaan mengenai data diri pemilik, kita sudah bisa
memblokir kartu ATM kita.
Di parkiran masjid Istiqlal masih
terlihat Ibnu yang menunggu di dekat motorku. Devi sudah dipersilakan untung
pulang lebih dahulu dengan naik bajaj.
Aku pulang dengan mengendarai motorku, tanpa kartu
identitas, tanpa hape, tanpa SIM dan STNK, hanya beberapa lembar uang di saku
celana. Jika di tengah jalan aku tertabrak kendaraan, motor lalu dibawa orang,
mukaku rusak berantakan, lalu siapa lagi yang akan mengenaliku. Ah, tak perlu
ambil pusing, toh, pada saatnya kita akan menghadap pada Tuhan dengan ‘sendiri-sendiri’,
dengan pertanggungjawaban masing-masing atas apa yang telah dikerjakan selama
ini. Dan, apa-apa yang kita cap sebagai milik kita, tak lain hanya titipan yang
pada saat yang telah ditentukan, satu per satu atau sekaligus beberapa akan
diambil oleh Sang Maha Pemilik Segala.
(11 Maret 2012)
Tuesday, March 27, 2012
(di)sepele(kan)
Barusan dapet telepon dari emak, Agas (keponakanku, umur 3,5 tahun) jatuh dari jendela kamarku. Wew, bagaimana ceritanya?
Malam hari sekitar pukul 8, bapakku berasa agak capek badan setelah seharian ngurus puyuh di kandang. Beliau rebahan di kamarku yang posisinya di bagian depan rumah, bersebelahan dengan ruang tamu. Agas yang biasanya memang main di rumahku, diminta simbah kakungnya (=bapakku) buat mijit pakai kaki (Istilah yang tepat apa ya? Kalau nginjak-injak konotasinya jadi agak beda). Namanya anak-anak, ketika mijit suka diselingi main-main, lonjak-lonjak kecil di atas punggung simbah kakung yang tentunya nyebabin dia kehilangan sebagian keseimbangan tubuhnya. Untuk menjaga agar tidak limbung, dia pegangan dinding tepat di sebelahnya, juga jendela dua pintu ada.
Saat pegangan dinding -dengan sedikit ada efek mendorong karena habis loncat-, dia masih berhasil mengendalikan tubuhnya, dinding kayu mampu meredam goyah badannya, begitu pun saat pegangan jendela di salah satu sisi. Tapi, begitu tiba saat pegangan jendela sisi yang lain, bruk, dia jatuh. Tak tanggung-tanggung, langsung keluar dari jendela dan jatuh di pelataran kecil depan rumah yang 'kebetulan' tanah tandus dan kerikil-kerikil kecil yang cukup tajam. Lecet di mukanya cukup banyak. Hidungnya pun berdarah. Tubuhnya sampai sempat membiru yang otomatis membuat seluruh keluarga panik.
Untungnya setelah beberapa saat ditenangkan, lalu diobati lukanya serta dipijit, dia sudah cukup membaik. Bahkan sudah mulai bermain seperti sedia kala.
Meski aku hanya dapat kabar via telepon -dan itu pun beberapa jam kemudian-, tapi aku tak kalah panik, juga muncul rasa bersalah yang tak sedikit. Kenapa?
Aku kurang teliti. Kemarin saat aku di rumah, pagi hari jendela memang kubuka salah satu agar udara segar masuk ke kamar. Cukup lama ku biarkan, sampai aku ngurus persiapan apa-apa yang akan dibawa balik Jakarta dll. Sebelum beranjak ke jalan untuk menunggu angkutan menuju terminal, aku menyempatkan menutup jendela. Ya, hanya ditutup, tanpa dikunci (di-grendel). Memang jendela kamarku itu cukup sulit untuk ditutup rapat -mungkin karena pemuaian atau apa-, apalagi untuk dikunci, sehingga saat aku sudah bisa menutupnya cukup rapat, aku tak mengerahkan sedikit lagi tenagaku untuk menguncinya. Dan aku menganggap itu hal sepele yang tak akan membahayakan. Memang, saat itu di piikiranku, definisi bahaya adalah rumah kemasukan maling -yang memang termasuk sangat jarang peristiwa tersebut terjadi-, maka aku santai-santai saja. Hingga barusan aku menerima telepon dari rumah mengenai kejadian yang menimpa Agas. Memang benar, maling tak masuk ke rumah lewat jendela, tapi keponakanku berhasil keluar rumah lewat jendela tersebut, bonus lecet-lecet dan darah di muka dan hidungnya.
'Kecelakaan' yang berawal dari hal yang (di)sepele(kan) bukan?
Malam hari sekitar pukul 8, bapakku berasa agak capek badan setelah seharian ngurus puyuh di kandang. Beliau rebahan di kamarku yang posisinya di bagian depan rumah, bersebelahan dengan ruang tamu. Agas yang biasanya memang main di rumahku, diminta simbah kakungnya (=bapakku) buat mijit pakai kaki (Istilah yang tepat apa ya? Kalau nginjak-injak konotasinya jadi agak beda). Namanya anak-anak, ketika mijit suka diselingi main-main, lonjak-lonjak kecil di atas punggung simbah kakung yang tentunya nyebabin dia kehilangan sebagian keseimbangan tubuhnya. Untuk menjaga agar tidak limbung, dia pegangan dinding tepat di sebelahnya, juga jendela dua pintu ada.
Saat pegangan dinding -dengan sedikit ada efek mendorong karena habis loncat-, dia masih berhasil mengendalikan tubuhnya, dinding kayu mampu meredam goyah badannya, begitu pun saat pegangan jendela di salah satu sisi. Tapi, begitu tiba saat pegangan jendela sisi yang lain, bruk, dia jatuh. Tak tanggung-tanggung, langsung keluar dari jendela dan jatuh di pelataran kecil depan rumah yang 'kebetulan' tanah tandus dan kerikil-kerikil kecil yang cukup tajam. Lecet di mukanya cukup banyak. Hidungnya pun berdarah. Tubuhnya sampai sempat membiru yang otomatis membuat seluruh keluarga panik.
Untungnya setelah beberapa saat ditenangkan, lalu diobati lukanya serta dipijit, dia sudah cukup membaik. Bahkan sudah mulai bermain seperti sedia kala.
Meski aku hanya dapat kabar via telepon -dan itu pun beberapa jam kemudian-, tapi aku tak kalah panik, juga muncul rasa bersalah yang tak sedikit. Kenapa?
Aku kurang teliti. Kemarin saat aku di rumah, pagi hari jendela memang kubuka salah satu agar udara segar masuk ke kamar. Cukup lama ku biarkan, sampai aku ngurus persiapan apa-apa yang akan dibawa balik Jakarta dll. Sebelum beranjak ke jalan untuk menunggu angkutan menuju terminal, aku menyempatkan menutup jendela. Ya, hanya ditutup, tanpa dikunci (di-grendel). Memang jendela kamarku itu cukup sulit untuk ditutup rapat -mungkin karena pemuaian atau apa-, apalagi untuk dikunci, sehingga saat aku sudah bisa menutupnya cukup rapat, aku tak mengerahkan sedikit lagi tenagaku untuk menguncinya. Dan aku menganggap itu hal sepele yang tak akan membahayakan. Memang, saat itu di piikiranku, definisi bahaya adalah rumah kemasukan maling -yang memang termasuk sangat jarang peristiwa tersebut terjadi-, maka aku santai-santai saja. Hingga barusan aku menerima telepon dari rumah mengenai kejadian yang menimpa Agas. Memang benar, maling tak masuk ke rumah lewat jendela, tapi keponakanku berhasil keluar rumah lewat jendela tersebut, bonus lecet-lecet dan darah di muka dan hidungnya.
'Kecelakaan' yang berawal dari hal yang (di)sepele(kan) bukan?
Monday, March 19, 2012
jarak - jeda
tersebab ada jarak,
kita dapat kembali mendekat,
karena dengan jeda,
membuat kita kembali memakna.
gambar diambil dari sini
Thursday, March 1, 2012
matemakita
Sudah menjalani 2 bulan lebih dari 12 bulan di tahun ini. Jika dihitung dengan matematika, maka setidaknya sudah 2 / 12 x 100% = 16,67 % target yang sudah terealisasi.
Ah, tetapi hidup terlalu sederhana jika semua dapat diterka dengan hitungan matematika. Apalagi, jika ada Faktor Akbar di luar yang tak layak tak kita acuhkan.
Tetap benahi diri!
Tetap beraksi!
Tetap serahkan hasilnya pada Ilahi!
Ah, tetapi hidup terlalu sederhana jika semua dapat diterka dengan hitungan matematika. Apalagi, jika ada Faktor Akbar di luar yang tak layak tak kita acuhkan.
Tetap benahi diri!
Tetap beraksi!
Tetap serahkan hasilnya pada Ilahi!
gambar diambil dari sini
Subscribe to:
Posts (Atom)