1
Beberapa waktu lalu sebagian (besar) dari kita mudik. Memang tidak semuanya, karena sebagian (yang lain) punya alasan untuk tidak melakukan. Karena memang tinggal di ibukota, karena alasan mahalnya biaya, karena alasan masih bekerja, dan lain sebagainya. Selalu ada alasan untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu. Mereka yang mudik pun begitu juga, punya alasan. Dan aku pribadi merasa beruntung karena aku menjadi bagian dari sebagian (besar) dari kita yang punya alasan untuk melakukan.
2
Ada yang memilih kereta untuk mengantarnya ke kampung halaman, ada pula yang memilih pesawat terbang, yang lain lagi memilih bis malam, mereka yang punya mobil pribadi pun memanfaatkannya untuk pulang. Dan aku memilih untuk naik sepeda motor, sendirian.
3
Kamu mengkhawatirkan, dia tak setuju, mereka melarang, dengan alasan satu, keselamatan. Aku senang kalian seperti itu, walau tak mengijinkan, memberi jawaban yang tak ku inginkan, tapi itu suatu tanggapan, suatu perhatian. Bukan tak ku pedulikan, bukan tak ku indahkan, karena aku sudah memilih, sudah memutuskan.
4
Sekali lagi kau mengulang, "Urungkan niatmu, mudiklah naik bis, tak usah nekad, cari selamat." Sebelumnya aku yakin, tapi saat kau ulangi lagi, dan mereka pun mengamini, aku mulai ragu, satu dua orang melarang, belum terperhatikan, tapi saat semakin banyak orang berujar dengan kata beda namun makna serupa, lalu diulangi beberapa, akupun menjadi goyah, keyakinanku mulai pecah.
5
"Apa aku batalkan rencanaku? Masih banyak cara yang lebih mudah dan nyaman untuk mudik, tak perlu mencari yang menyulitkan." terbesit itu dalam pikiran, mengurungkan. Tapi tidak, aku telah memutuskan. Di sisi lain aku masih meragukan, padahal aku sudah punya persiapan. Ah, aku perlu waktu untuk menenangkan pikiran.
6
“Aku tak perlu berganti rencana, aku harus meyakinkan diriku”, kucoba mantapkan. Butuh semacam dukungan dan penenang agar aku lebih teryakinkan. Kutelepon bapak dan emak di rumah, mengabarkan bahwa aku jadi mudik naik sepeda motor -walau sebenarnya aku masih menyangsikan untuk melakukan-. Seperti biasanya, kata-kata mereka tak terlalu beragam, dengan ucapan yang sering aku dengar dan doa dengan rima tak beraturan. Tapi walau tak seindah sebuah lagu, kata dan doa orang tua yang tulus tetap membangkitkan semangatku -juga keyakinanku-.
7
"Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Alloh bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Alloh orang-orang yang beriman harus bertawakkal”, ayat 51 dari surat Taubah. Tak sengaja aku membuka artinya saat aku tilawah sekitar satu jam sebelum keberangkatan. Entah (si)apa yang mendorongku untuk penasaran dengan arti ayat tersebut -bukan yang lain-, kubuka terjemahan artinya dan menakjubkan, ku dapatkan arti firman Tuhan yang begitu menenangkan.
8
Sepeda motor telah ku hidupkan, gigi motor sudah ku masukkan, tak ada alasan lagi untuk membatalkan. Aku menargetkan waktu 14 jam perjalanan dari kos sampai rumah, termasuk untuk rehat, sholat, dan mengisi bensin tentunya. Terlalu lama juga, tapi itu untuk berjaga-jaga, barangkali keadaan jalan dan lingkungan tak mendukung sepeda motorku melaju dengan lancar dan kencang.
9
Perjalanan ini dapat ku nikmati, jalan cukup lengang karena belum terlalu dekat dengan hari Lebaran. Di pinggir jalan terlihat perumahan dengan berbagai aktifitas manusia di sekitarnya, penjual, tukang bangunan, guru, ibu tumah tangga, anak sekolah, pengangguran, dan sebagainya. Di tempat yang lain terlihat persawahan dan pepohonan yang mendamaikan. Gerimis sesaat menyapa, sempat membuatku panik juga, tapi dia hadir untuk menyejukkan, bukan menyusahkan.
10
Perjalanan panjang tak selayaknya dibiarkan berjalan terus-terusan, ada saat kita butuh rehat, memberi masa, agar kita lebih kuat dan bersemangat. Aku pun melakukan itu, sekalian setelah aku sholat. Merilekskan otot yang pegal, mengistirahatkan indera agar lebih handal.
11
Banyak orang yang aku lihat, bahkan terlalu banyak hanya dalam jangka waktu yang relatif singkat. Tentu tak semua aku ingat, tapi sebagian masih tinggal dalam pikiran, mungkin terkenang.
12
Waktu mudik ini begitu bersahabat, dia seolah berjalan lebih lambat, membuatku merasa perjalananku lebih cepat. Waktu yang ku targetkan di awal kubuat lebih singkat. Sebelum Maghrib aku harus sudah ada di rumah, atau kurang dari 12 jam perjalanan. Aku ingin memulai buka dengan orang tua. Semangatku mengalir deras, dan aku bergegas.
13
Sial. Rasanya ingin aku tarik lagi kata-kataku. Tiba-tiba saja Tuhan seperti tak mengijinkan aku mengubah target waktuku, atau mungkin dia sedang menggodaku? Perjalanan yang sebelumnya terasa begitu tanpa halangan, kini mulai agak menyulitkan karena turun hujan. Jalan yang ku lewati sebagian tergenang, membuatnya licin dan kurang nyaman. Pandangan ke depan pun mengalami sedikit gangguan.
14
Tak bisa ku paksakan untuk menambah kecepatan dengan keadaan yang kurang mengenakkan. Aku pilih berjalan lebih pelan, memang menambah waktu, tapi terpenting kujaga keselamatan dengan tetap berusaha melaju ke depan.
15
Adzan berkumandang sebelum aku sampai tujuan. Sudah tak terlalu jauh dari rumah sebenarnya, terus melaju sampai di rumah memang bisa, tapi menyegerakan berbuka lebih utama.
16
Aku tiba di rumah, disambut senyum bapak dan emak yang manis dan cerah. Target waktuku memang tak tercapai, hanya terlewat sekian menit, bukan jam, tapi itu tetaplah sebuah keterlambatan. Tak ku keluhkan itu karena keadaan memang tak memungkinkan. Selama kita mencoba, walau berjalan tak sesuai rencana, asal kita tetap masih berusaha, aku sudah bangga, karena untuk hasil, itu bukan kuasa kita.
17
Kali ini aku siap melakukan perjalanan (lagi). Memang tujuan berbeda, tapi kelanjutan dari perjalanan sebelumnya. Masih dengan sepeda motor andalanku seperti perjalanan yang lalu. Aku akan kembali ke kota dimana aku bekerja, Jakarta. Kondisiku terlihat lebih kuat, sekian hari di rumah memberiku tambahan semangat. Cukup 12 jam saja untuk sampai di ibukota. Itu targetku, itu rencanaku, Tapi aku yakin akan berhasil, karena sekarang aku sudah punya bekal, semangat dan pengalaman.
18
Rencana memang tak selalu sama dengan realita. Keadaan jalan yang kukira akan cukup lengang, ternyata berkebalikan. Begitu banyak mobil dan motor yang mempunyai tujuan sama, ke ibukota. Tak mungkin ku paksakan untuk melaju kencang sesuai inginku. Aku harus mengikuti pergerakan arus di sekitar.
19
Capek, panas, dan hanya bisa bergerak pelan membuatku bosan. Aku menambah porsi rehatku agar bisa lebih segar. Ingin menunggu jalan lebih lengang, itu terlalu lama dan belum tentu datang adanya. Keluh kesah mulai datang, tapi perjalanan tak bisa ku hentikan.
20
Proses. Aku coba menikmati proses. Walau tak selalu berjalan lancar, kadang terhambat di pertengahan, tapi selalu ada hikmah dan pelajaran yang ditemukan. Dan dengan terus mencoba menikmati dan melalui proses, meski berjalan pelan, kita akan sampai pada tujuan.
21
Sebuah perjalanan, entah perjalanan mudik atau perjalanan dalam kehidupan, selalu penuh dengan berbagai kemungkinan, dengan dua garis besar yang berlawanan, antara menyenangkan-menjenuhkan, mudah-susah, tersesat-terarah yang datang bergantian agar kita tidak bosan.
22
Dan kini, perjalanan hidupku sedang berada di persinggahan tahun ke-22. Begitu banyak yang telah diberikan, begitu sedikit yang sudah ku lakukan. Persinggahan yang merupakan kelanjutan dari perjalanan sebelumnya menuju perjalanan ke depan yang lebih akbar. Aku tak tau dimana ujung perjalanan kita ini, atau mungkin tak berujung? Entahlah, aku ingin kita terus berjalan menikmati dan menjalani perjalanan kehidupan ini menuju tujuan yang sama, walau (terkadang) melalui jalan yang berbeda.
* gambar diambil dari sini