Karena semua apa dan siapa, dicipta bukan tanpa makna.

Wednesday, August 18, 2010

"Dialog" Dini Hari

"Ah, lama-lama bosan juga mendengarkan musik dan internetan".

Satu-satunya hiburan yang ku andalkan dalam perjalanan dengan bis malam, sebuah hp slide yang agak rapuh karena beberapa kali jatuh sudah terasa menjemukan setelah beberapa jam aku paksa dia menghiburku terus-terusan. Ku masukkan dia ke saku celana, ku biarkan dia beristirahat dengan sisa baterai seadanya. Sebenarnya ingin sejenak aku bercakap-cakap dengan sembarang, tapi sayangnya di sebelahku tak ada seorangpun penumpang. Mengajak ngobrol penumpang yang duduk di depan atau belakang, itu tidak nyaman dan merepotkan. Hmm, baiklah, kelihatannya membiarkan pikiran lepas memikirkan apa yang ingin dia pikirkan, atau membuka lembar kenangan sambil menatap luar bis dengan banyak hiasan kegelapan, lumayan tidak menjenuhkan untuk dilakukan.

"Hai, apa kabar? Lagi ngapain?"

Sapaan itu tiba-tiba muncul, mencegat anganku membentuk imajinasi baru. Aku ingin sewot tadinya, tapi sepertinya sapaan ini patut dilanjutkan untuk menjadi sebuah percakapan yang mengasyikkan.

"Ehm, Alhamdulillah baik saja. Seperti yang terlihat, aku lagi nyantai saja, melihat-lihat pemandangan luar bis, sambil membiarkan pikiranku bebas memikirkan apa yang ingin dia pikirkan. Ngomong-ngomong kamu siapa? Kalau boleh sedikit menyampaikan masukan, menurutku basa-basi menanyakan kabar dan tanya lagi ngapain itu tidak terlalu penting. Apalagi sudah terlihat aku lagi ngapain. Terkecuali kalau kamu tanya aku lagi mikirin apa yang tentunya tak kau tau, baru itu layak dipertanyakan. Tapi kelihatannya pertanyaan seperti itu terlalu privasi untuk diajukan ya, hehehe."

"Iya, bener. Tanya kabar gak apa-apa lah, itung-itung dengan ku tanyain kabar, kamu jadi ngucapin syukur ke Tuhan, walau sepele, kadang kamu sering lupa bukan? Kalau pertanyaan lagi ngapain, itu sekedar pelengkap. Berasa kurang saja kalo sudah tanya kabar tapi gak tanya lagi ngapain, hehehe. Ngomong-ngomong soal Tuhan, dulu waktu kecil kamu pernah bayangin wujud Tuhan kaya' apa ya? Ada-ada aja kamu ini."

Aku sempat tercengang mendapat pertanyaan seperti itu. Bagaimana dia tahu hal itu. Sampai-sampai aku lupa akan niatku untuk menanyakan lagi siapa dia yang belum sempat dijawabnya.

"Kamu tau ya? Tadinya aku sudah agak lupa kalau saja kamu gak mengingatkan lagi hal itu. Dulu, namanya masih anak-anak, wajar saja kalau punya imajinasi yang terkadang nyleneh, tapi seiring bertambahnya usia, dengan adanya kedewasaan, aku sadar bahwa wujud Tuhan yang pernah ku bayangkan itu hanya sebatas imajinasi, mungkin karena dulu sering melihat film-film kartun fantasi. Kita, manusia kan gak punya kuasa untuk dapat melihat wujud Tuhan di dunia, kita hanya mampu melihat wujud kuasa-Nya. Lagian sekarang aku sudah gak ingat pasti seperti apa dulu aku mengimajinasikan wujud Tuhan."

"Sudah dewasa juga ya ternyata. Tapi, walau sudah dewasa, kamu pernah ngambek sama Tuhan ya? Hehehe."

Aku belum dapat menangkap maksud pertanyaannya."Maaf, maksudnya? Ngambek?"

"Itu lho, kaya' waktu kamu gagal ngedapetin juara pas lomba Akuntansi, padahal kamu udah nyiapin dengan baik, terus pas selesai lomba kamu udah nyocokin hasilnya dengan temanmu yang lain dan hasilnya sama, tapi saat pengumuman kamu gak masuk sebagai juara sementara temanmu masuk 3 besar. Kamu malah nyalahin Tuhan, nganggep Tuhan gak adil lah, nganggep Tuhan gini-gitu lah."

"O, yang itu, hehehe, ingatanmu bagus jug...." belum selesai melanjutkan kata-kata, tiba-tiba dia menimpali.

"Ingatanku yang bagus atau kamu yang tak mau mengingat kegagalanmu?"

Tindakannya memotong perkataanku serta kata-katanya cukup membuatku tersinggung. Belum lama mengajak berbicara tapi ucapannya sudah tidak mengenakkan. Kelihatannya dia mampu membaca gelagatku. "Ups, maaf, silakan dilanjutkan.", ucapnya meminta maaf.

"Namanya hidup, kegagalan pasti ada, dan menurutku manusiawi jika kita kecewa saat mendapatkan kegagalan. Setidaknya, walau aku kecewa, aku tidak putus asa dari rahmat Tuhan. Aku jadi sadar kalau apapun yang ditetapkan Tuhan emang yang terbaik, meski kadang kita tidak dapat menerimanya dengan baik. Juga membuatku introspeksi diri apa aku kurang bersyukur pada-Nya, apa aku terlalu angkuh, ya semacam itulah."

"Wah, bijaksana juga jawabnya. Setelah itu kamu gak pernah ngambek lagi sama Tuhan?"

"Sebijak apapun manusia, saat tidak mendapatkan apa yang diinginkan, pasti ada rasa kecewa walau porsinya berbeda."

"Termasuk saat kamu gagal ngedapetin cewek yang kamu suka?"

Lagi-lagi pertanyaannya membuatku tersinggung. Kali ini aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya itu.

"Gak mau jawab pertanyaanku ya? Ngambek?"

Aku tetap terdiam, perkataaannya tidak mengenakkan.

"Apa itu yang nyebabin kamu jadi gak sesemangat kaya' dulu?"

Gak semangat? Kenapa dia menyimpulkan aku tidak sesemangat dulu. Aku menjadi tertarik lagi untuk menjawab pertanyaannya.

"Memangnya aku kelihatan tidak bersemangat ya? Menurutku sekarang aku masih semangat, tapi boleh jadi benar katamu kalau aku tidak sesemangat dulu. Mungkin itu karena beberapa hal yang terjadi sekarang tidak sesuai rencanaku.", keluhku.

Terdengar suara tawanya yang tertahan. "Hei, aku sedang mengeluh dan ini tidak lucu, tapi kau malah ketawa!", batinku. Atau mungkin dia tertawa dengan kataku mengenai hal yang tidak sesuai rencanaku salah satunya aku gagal mendapatkan perempuan yang aku suka? Terserah lah dia berpikir apa.

"Tidak sesuai rencana? Kok bisa? Emang gimana rencanamu? Kamu bikin detailnya gak? Kamu bikin batasan waktu di tiap tahapnya gak? Kamu disiplin dengan rencana yang sudah kamu buat gak? Kamu bikin rencana alternatif kalau rencana awal gagal dijalankan gak?", cerocosnya setelah dia berhasil menahan tawanya beberapa saat.

Sempat sebal juga mendengar kata-katanya yang panjang itu. Tapi setelah aku pikir, benar juga kata-katanya. Sebelumnya, apa aku pernah membuat rencana dengan detail, apa rencanaku ada batasan-batasan waktunya, apa aku sudah disiplin, apa aku punya rencana alternatif, cecarku dalam hati.

"O iya, sebelumnya kamu sudah bilang kalau apapun yang ditetapkan Tuhan, walau tidak sesuai dengan keinginanmu, tidak sesuai dengan rencanamu, tetap saja itu yang terbaik kan, jadi gak ada alasan buatmu gak semangat kaya' dulu. Ternyata kamu gak konsisten dengan kata-katamu ya? Payah."

Belum jadi aku mengucapkan terimakasih dengan saran untuk membuat rencana lebih baik itu, ucapnya barusan membuatku mengurungkan niatku memujinya.

"Kok diem saja? Tersinggung lagi dengan kata-kataku? Ya sudah, aku minta maaf lagi."

Dia, mudah sekali menyinggung perasaan orang lalu meminta maaf, menyinggung lagi lalu minta maaf lagi, hmpf.

"Tapi, seharusnya gak tepat juga kalau kamu masih gak semangat. Bukannya sekarang kamu lagi suka sama cewek ya? Cieee."

"Ng..... kamu seperti wartawan gosip saja, sok tau dan suka mencampuri urusan pribadi orang.", balasku meski sebenarnya aku sudah terlalu malas menjawabnya.

"Ayolah, gak usah sungkan gitu, cerita saja. Namanya siapa? Anak mana? Sudah bilang ke dia kalau kamu menyukainya belum? Kapan mau melamar?"

"Cerewet!!! Ternyata ada juga ya cowok secerewet kamu."

"Iyaya, ternyata ada juga ya cowok sejaim kamu."

Sial. Perkiraanku bahwa ini akan menjadi percakapan yang mengasyikkan rupanya salah. Ingin segera ku akhiri percakapan yang terus memancing emosi. Sebentar, kalau aku tak melanjutkannya, "lari" darinya, bisa-bisa dia akan semakin mengejekku. Baik, aku tak boleh mengakhiri percakapan ini begitu saja. Butuh waktu beberapa saat agar emosiku kembali stabil dan aku bisa menjawab pertanyaannya.

"Wajar laki-laki menyukai perempuan, siapa namanya dan darimana itu tak perlu ku ceritakan, nanti kalau sudah siap semuanya juga tahu."

"Sudah siap semuanya? Emang bisa? Persiapanmu sudah sejauh mana? Jangan kelamaan, ntar keburu dia jadi istri orang, hahaha.", katanya disertai tawa ejekan darinya.

"Kamu ini......"

"Kamu mau nyiapin apalagi?"

"Banyak lah."

"Bilang saja persiapanmu belum jelas. Rencanamu emang gak pernah matang. Paling, kamu juga belum siap mendapat tanggung jawab lebih untuk menjadi kepala keluarga."

"CEREWET!"

"jaim."

Kemarahanku mulai meledak. Dan entah berapa kali ada jeda sunyi yang hadir agar aku bisa lebih mengendalikan diri.

"Ayo, cerita lah, yang jujur saja, barangkali aku bisa membantu persiapanmu.", sekarang dia berkata lebih sopan, mungkin tau aku sudah segan.

"Terimakasih, tapi sejauh ini aku masih bisa meng-handle-nya.", aku pun berusaha menjawabnya dengan sedikit pelan.

"Kamu gak percaya sama aku?"

"Percaya, tapi bukan berarti harus menceritakan semuanya padamu kan?"

"Itu namanya kamu gak percaya!"

Dan lagi aku nyaris terbawa emosi, tapi kali ini aku harus lebih terkendali. Mengakhiri percakapan tepat menjadi pilihan daripada ku harus menahan emosi terus-terusan. Untunglah bis berhenti sesampai di tempat pemberhentian. Segera aku beranjak dari kursi penumpang, bersiap melangkah keluar.

"Kamu mau kemana? Aku masih ingin mengobrol banyak denganmu?"

Aku menunda sejenak langkahku. Ingin lagi ku timpali kata-katanya, tapi sudah ku putuskan untuk tak menghiraukan. Lebih baik ku lanjutkan lagi langkahku keluar.

"Hei, tunggu! Masih banyak yang ingin ku katakan! Masih banyak tanya yang perlu kau beri jawaban! Kenapa kamu seperti itu. Kenapa kamu gak mau jujur dan percaya padaku. Aku ini kamu!"

Mendengar katanya barusan memaksa langkahku ku tahan. Apa yang baru saja ku dengar? Dia bilang dia itu aku? Yang benar saja? Aku mencoba menengok ke sekitar, barangkali ku temukan sosok darimana suara itu berasal. Tindakanku percuma, tak ada siapa-siapa yang pantas ku tuduhkan. Iya juga, dari tadi aku bercakap-cakap, memang tak ada sosok di hadapan, aku hanya sekedar menimpali, membalas pertanyaannya, tanpa peduli dari (si)apa suara itu datang. Tapi kenapa percakapan itu terasa tidak abstrak, sampai sempat menarik emosiku ke puncak. Kalau benar tadi nyata, seharusnya penumpang lain merasa terganggu dengan obrolanku dengannya. Ah, entahlah, bukan perkara besar untuk terus ku pikirkan. Aku melanjutkan langkahku menuju rumah makan di tempat pemberhentian. Samar-samar suaranya masih sekilas terdengar.

"Gimana kamu mau jujur dan percaya dengan orang lain kalau dengan diri kamu sendiri kamu tidak bisa jujur dan percaya.", lanjut suaranya yang semakin lama semakin hilang di tengah keramaian rumah makan.

--oOo--

Seluruh penumpang kembali duduk di kursi semula setelah selesai menuntaskan hajatnya. Aku pun kembali duduk di kursiku. Kali ini aku angkat tasku, ku dekapkan dia di depan dadaku untuk mengurangi dinginnya udara AC yang menyebar. Mata ini sudah mulai merengek menuntut haknya untuk dipejamkan. Entah karena kelelahan atau bosan, aku mulai tak tersadar sebelum kemudian terdengar suara yang beberapa waktu lalu begitu familiar.

"Kawan, sekarang percakapan kita sudah dapat dilanjutkan?"


(Terinspirasi untuk menuliskan note ini dalam kesendirian memikirkan aku, kamu, mereka, dan Dia, selagi mendengarkan lagu milik Dialog Dini Hari - Aku Adalah Kamu, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Wonosobo, Sabtu,14 Agustus 2010)