Beberapa minggu lalu saat aku sedang di Wonosobo, di petang hari lik-ku berkunjung ke rumahku. Bukan suatu yang spesial sebenarnya, karena beliau masih 1 kampung dan sering juga berkunjung. Seperti wajarnya dalam setiap kunjungan, kami (bapak, emak, lik, dan aku) mengobrol kesana-kemari.
Lik ku bercerita,“Aku kalo pulang kerja kadang gak enak ama simbah. Beliau suka sekali ngerjain ini-itu, beres-beres rumah, dsb. Padahal aku udah bilang ama simbah, gak usah ngerjain ini-itu, kasihan udah sepuh, ntar capek. Mending simbah istirahat aja. Kan walo aku pulang agak maleman, masih bisa lah ngerjainnya. Tapi, kalo dibilangin gitu, simbah malah “marah” dan bilang ‘kan gak papa simbah ngerjain ini-itu, kalo disuruh istirahat aja, simbah malah bingung, dan bla bla bla’. Kadang ampe agak “geregetan” juga ngasih taunya.”
Emak lalu menjawab,“Ya, namanya aja orang tua dik. Simbah gak tega liat kamu kerja dari pagi ampe malam, terus nyampe rumah harus ngerjain pekerjaan rumah. Emang kadang jengkelin juga, kita kan niatnya baik, biar simbah gak capek, tapi kalo dibilangin malah sewot. Tapi namanya orang tua juga lama-lama jadi kaya’ anak kecil, dikasih tau sedikit, bisa ngambek, juga jadi tambah cerewet, hehehe. Mungkin ntar kita kalo sudah tua juga kaya’ gitu ya dik?”
“Hahahaha”, emak, lik, dan aku yang cuma mendengarkan pun ikut tertawa.
Begitulah lebih kurang percakapan emak dan lik ku di suatu petang. Mereka berdua, sama-sama seorang wanita, seorang ibu, dan seorang anak dari simbahku. Di satu sisi mereka kadang merasa “gemes” juga melihat tingkah orang tuanya yang kadang berlebih dalam berbuat baik pada anak-anaknya. Tapi, di sisi lain mereka juga sadar bahwa mereka pun seorang ibu yang selalu ingin berbuat lebih untuk kebaikan anaknya.
Lik ku bercerita,“Aku kalo pulang kerja kadang gak enak ama simbah. Beliau suka sekali ngerjain ini-itu, beres-beres rumah, dsb. Padahal aku udah bilang ama simbah, gak usah ngerjain ini-itu, kasihan udah sepuh, ntar capek. Mending simbah istirahat aja. Kan walo aku pulang agak maleman, masih bisa lah ngerjainnya. Tapi, kalo dibilangin gitu, simbah malah “marah” dan bilang ‘kan gak papa simbah ngerjain ini-itu, kalo disuruh istirahat aja, simbah malah bingung, dan bla bla bla’. Kadang ampe agak “geregetan” juga ngasih taunya.”
Emak lalu menjawab,“Ya, namanya aja orang tua dik. Simbah gak tega liat kamu kerja dari pagi ampe malam, terus nyampe rumah harus ngerjain pekerjaan rumah. Emang kadang jengkelin juga, kita kan niatnya baik, biar simbah gak capek, tapi kalo dibilangin malah sewot. Tapi namanya orang tua juga lama-lama jadi kaya’ anak kecil, dikasih tau sedikit, bisa ngambek, juga jadi tambah cerewet, hehehe. Mungkin ntar kita kalo sudah tua juga kaya’ gitu ya dik?”
“Hahahaha”, emak, lik, dan aku yang cuma mendengarkan pun ikut tertawa.
Begitulah lebih kurang percakapan emak dan lik ku di suatu petang. Mereka berdua, sama-sama seorang wanita, seorang ibu, dan seorang anak dari simbahku. Di satu sisi mereka kadang merasa “gemes” juga melihat tingkah orang tuanya yang kadang berlebih dalam berbuat baik pada anak-anaknya. Tapi, di sisi lain mereka juga sadar bahwa mereka pun seorang ibu yang selalu ingin berbuat lebih untuk kebaikan anaknya.
Jumat sore, 25 Juni 2010, pesananku sebuah novel dongeng karya Fahd Djibran berjudul Rahim sudah aku terima. Awalnya aku tidak berencana untuk pre-order buku tersebut, tapi setelah membaca note di facebook-nya, akhirnya ku putuskan untuk pre-order.
Seperti sudah ku tulis tadi, walaupun ada yang menyebut ini sebagai novel pertama Fahd Djibran setelah sebelumnya menulis beberapa buku (A Cat in My Eyes, Curhat Setan, dll), tapi aku lebih suka menyebutnya sebuah dongeng, atau lebih tepatnya Sebuah Dongeng Kehidupan (itu yang ditulis di cover-nya). Aku memang tidak terlalu tau apa itu novel, tapi menurutku karya terbaru Fahd Djibran tersebut memang lebih cocok disebut dongeng.
Yap, dalam dongeng Rahim ini, kita akan berkenalan dengan seorang bernama Dakka Madakka (begitu membaca namanya, aku langsung menuduh dia sebagai orang Sunda, padahal dia berasal dari Kota Ura. Kau tau Kota Ura?). Dia mempunyai profesi aneh bernama Pengabar Berita dari Alam Rahim. Tak perlu kau mengernyitkan dahi begitu tau profesinya itu karena begitulah adanya. Dia akan menceritakan tentang apa-apa yang pernah kau alami di alam rahim yang kelihatannya sudah kau lupakan.
Kau (saat masih dalam alam rahim rencananya kau akan diberi nama Mikal oleh kedua orang tuamu), seorang yang pernah tinggal di alam rahim dalam rentang waktu sekitar 9 bulan 10 hari akan diajak berkilas balik tentang kisah-kisah yang kau alami saat kau berada disana. Kau masih ingat pertemuanmu dengan Kucing yang Bisa Berbicara? Ikan Mas yang Bekerja sebagai Koki? Amadeus? Aynu si Gadis Buta Penunjuk Jalan? Profesor Waktu? Nenek Olav? Atau Mahavatara? Kalau kau sudah lupa, segeralah temui Dakka.
Juru dongeng akan bercerita dengan rangkai kata yang mudah kau ikuti walau di beberapa tempat dia menggunakan istilah asing yang mungkin tak kau pahami. Tapi tenang saja kawan, dia akan memberikan penjelasan tentang istilah-istilah asing tersebut. Lumayan buat tambahan perbendaharaan ilmu kita. Selain itu, pengetahuanmu tentang alam rahim akan bertambah. Jika sebelumnya kau belum tahu fase yang dialami seorang calon bayi dari saat sperma berhasil membuahi sel telur hingga dia lahir, membaca buku ini kau akan menjadi (lebih) tau.
Untuk bagian yang berjudul Ibu, aku rasa ini bagian yang paling aku suka. Juru dongeng sudah mengingatkan sebelumnya bahwa di bagian inilah akan disampaikan salah satu alasan terpenting mengapa Pengabar Berita dari Alam Rahim ditugaskan ke dunia. Membacanya beberapa lembar, membuatku merinding, hampir-hampir aku meneteskan air mata. Di bagian ini kita memang akan dipertemukan dengan kisah tentang seseorang yang (kebanyakan orang) begitu dekat dengannya, Ibu. Mungkin karena itulah, bagian ini mampu membuatku hampir meneteskan air mata (selain kepiwaian juru dongeng dalam merangkai kata tentunya). Aku tak mau menceritakan detail kisahnya seperti apa karena kau bisa mengintip sebagian isinya disini. Atau bila kau ingin baca lebih lengkap, bacalah di bukunya, hehehe.
Untuk menemukan pesan "sederhana" dalam buku ini, kau tak perlu susah payah untuk mencarinya, karena juru dongeng akan secara gamblang memberitahumu. Tapi, kalau kau ingin mendapatkan pesan yang lebih dari itu, perlu kejelian lebih saat membacanya. Semua tokoh, kejadian, percakapan yang dihadirkan juru dongeng, bukan dihadirkan tanpa suatu sebab.
Aku bukan seorang pembaca buku yang hebat, bahkan tergolong orang yang malas membaca buku. Aku mudah bosan jika harus duduk berlama-lama untuk membaca. Tapi, ternyata dongeng Rahim dapat ku selesaikan dalam waktu kurang darii 2 x 24 jam, dan itu sudah aku selingi dengan berbagai macam kegiatan yang cukup menyita waktu juga. Tak perlu kau kaget kenapa aku bisa menyelesaikannya dalam jangka waktu cukup singkat (untuk ukuranku). Buku 316 halaman ini (untuk buku yang aku dapat, aku dapat “bonus” dobel halaman dari halaman 215 – 230, hahaha) ditulis dengan kata yang mudah dimengerti, mengalir begitu saja, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan disisipi gambar-gambar yang kreatif, ditambah dengan cover yang unik. Ada kata-kata yang kurang ketikan barang 1 huruf pada beberapa tempat, tapi itu tidak terlalu banyak, mungkin tidak sampai hitungan 5.
Secara keseluruhan, aku suka dengannovel dongeng pertama karya Fahd Djibran ini. Perlu dibaca untukmu yang (nantinya akan) mengandung seorang bayi dalam rahimmu atau untukmu yang (nantinya akan) mengikuti perkembangan bayimu dalam rahim istrimu. Resapilah hingga meresap ke hati agar kau lebih menghargai hidup, karena jika kau tau, dongeng Rahim bukan sekedar dongeng tentang rahim. Pastinya ada beberapa perbedaan selera dalam cara penyampaian, plot, dsb, tapi itu bukan intinya, yang penting Fahd Djibran sudah berani keluar dari arus tipe-tipe cerita yang ada saat ini. Rahim bisa menjadi salah satu alternatif bacaan bila kau ingin membaca kisah tak biasa yang disampaikan dengan sederhana, namun ada makna luar biasa di dalamnya.
Seperti sudah ku tulis tadi, walaupun ada yang menyebut ini sebagai novel pertama Fahd Djibran setelah sebelumnya menulis beberapa buku (A Cat in My Eyes, Curhat Setan, dll), tapi aku lebih suka menyebutnya sebuah dongeng, atau lebih tepatnya Sebuah Dongeng Kehidupan (itu yang ditulis di cover-nya). Aku memang tidak terlalu tau apa itu novel, tapi menurutku karya terbaru Fahd Djibran tersebut memang lebih cocok disebut dongeng.
Yap, dalam dongeng Rahim ini, kita akan berkenalan dengan seorang bernama Dakka Madakka (begitu membaca namanya, aku langsung menuduh dia sebagai orang Sunda, padahal dia berasal dari Kota Ura. Kau tau Kota Ura?). Dia mempunyai profesi aneh bernama Pengabar Berita dari Alam Rahim. Tak perlu kau mengernyitkan dahi begitu tau profesinya itu karena begitulah adanya. Dia akan menceritakan tentang apa-apa yang pernah kau alami di alam rahim yang kelihatannya sudah kau lupakan.
Kau (saat masih dalam alam rahim rencananya kau akan diberi nama Mikal oleh kedua orang tuamu), seorang yang pernah tinggal di alam rahim dalam rentang waktu sekitar 9 bulan 10 hari akan diajak berkilas balik tentang kisah-kisah yang kau alami saat kau berada disana. Kau masih ingat pertemuanmu dengan Kucing yang Bisa Berbicara? Ikan Mas yang Bekerja sebagai Koki? Amadeus? Aynu si Gadis Buta Penunjuk Jalan? Profesor Waktu? Nenek Olav? Atau Mahavatara? Kalau kau sudah lupa, segeralah temui Dakka.
Juru dongeng akan bercerita dengan rangkai kata yang mudah kau ikuti walau di beberapa tempat dia menggunakan istilah asing yang mungkin tak kau pahami. Tapi tenang saja kawan, dia akan memberikan penjelasan tentang istilah-istilah asing tersebut. Lumayan buat tambahan perbendaharaan ilmu kita. Selain itu, pengetahuanmu tentang alam rahim akan bertambah. Jika sebelumnya kau belum tahu fase yang dialami seorang calon bayi dari saat sperma berhasil membuahi sel telur hingga dia lahir, membaca buku ini kau akan menjadi (lebih) tau.
Untuk bagian yang berjudul Ibu, aku rasa ini bagian yang paling aku suka. Juru dongeng sudah mengingatkan sebelumnya bahwa di bagian inilah akan disampaikan salah satu alasan terpenting mengapa Pengabar Berita dari Alam Rahim ditugaskan ke dunia. Membacanya beberapa lembar, membuatku merinding, hampir-hampir aku meneteskan air mata. Di bagian ini kita memang akan dipertemukan dengan kisah tentang seseorang yang (kebanyakan orang) begitu dekat dengannya, Ibu. Mungkin karena itulah, bagian ini mampu membuatku hampir meneteskan air mata (selain kepiwaian juru dongeng dalam merangkai kata tentunya). Aku tak mau menceritakan detail kisahnya seperti apa karena kau bisa mengintip sebagian isinya disini. Atau bila kau ingin baca lebih lengkap, bacalah di bukunya, hehehe.
Untuk menemukan pesan "sederhana" dalam buku ini, kau tak perlu susah payah untuk mencarinya, karena juru dongeng akan secara gamblang memberitahumu. Tapi, kalau kau ingin mendapatkan pesan yang lebih dari itu, perlu kejelian lebih saat membacanya. Semua tokoh, kejadian, percakapan yang dihadirkan juru dongeng, bukan dihadirkan tanpa suatu sebab.
Aku bukan seorang pembaca buku yang hebat, bahkan tergolong orang yang malas membaca buku. Aku mudah bosan jika harus duduk berlama-lama untuk membaca. Tapi, ternyata dongeng Rahim dapat ku selesaikan dalam waktu kurang darii 2 x 24 jam, dan itu sudah aku selingi dengan berbagai macam kegiatan yang cukup menyita waktu juga. Tak perlu kau kaget kenapa aku bisa menyelesaikannya dalam jangka waktu cukup singkat (untuk ukuranku). Buku 316 halaman ini (untuk buku yang aku dapat, aku dapat “bonus” dobel halaman dari halaman 215 – 230, hahaha) ditulis dengan kata yang mudah dimengerti, mengalir begitu saja, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan disisipi gambar-gambar yang kreatif, ditambah dengan cover yang unik. Ada kata-kata yang kurang ketikan barang 1 huruf pada beberapa tempat, tapi itu tidak terlalu banyak, mungkin tidak sampai hitungan 5.
Secara keseluruhan, aku suka dengan
Kau tau, alam dunia ini juga sebuah rahim, Rahim Semesta yang akan membentuk dan mematangkan dirimu dan kesadaranmu hingga suatu saat nanti kau “lahir” ke alam yang lain.